Kamis, 08 November 2012

Perkembangan Aspek-apek Sosial Peserta Didik


BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang.
Anak yang sedang dalam perkembangan setingkat sekolah dasar, berada dalam periode konkret atau periode dunia realita. Suatu hal penting yang sedang terjadi dalam diri anak adalah dimilikinya dorongan ingin tahu tentang segala sesuatu yang ada dalam dunia realita disekitarnya. Anak ingin tahu bagaimana cara mengadakan hubungan dengan dunia realita yang ada dilingkungannya baik bersifat fisik maupun sosial. Pada saat ini pun timbul kesadaran anak tentang adanya aturan-aturan yang harus diikutinya.
Dengan masuknya anak ke dalam tingkat perkembangan kanak-kanak akhir yang berlangsung antara umur tujuh sampai dua belas tahun, aktivitas kehidupan anak kebanyakan bukan lagi di dalam rumah bersama orang tua dan saudara-saudaranya tetapi di luar rumah dengan teman sebaya dan bahkan dengan teman dewasa lainnya. Pada saat ini pula anak memasuki sekolah. Oleh karena itu, hubungan sosial dengan teman sebaya makin bertambah luas.
Maka dari itu, penulis membahas tentang perkembangan aspek-aspek sosial peserta didik.

1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang penulis bahas dalam Pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimana perkembangan aspek-aspek sosial peserta didik?”


1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan  yang ingin dicapai penulis adalah :
a.       Mengetahui Pengertian Hubungan Sosial.
b.      Mengetahui Pengaruh Hubungan Sosial dengan Tingkah Laku.
c.       Mengetahui Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja.
d.      Mengetahui Bentuk – Bentuk Tingkah laku Sosial.
e.       Mengetahui Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak.
f.       Mengetahui Hubungan antara Nilai, Moral, Sikap dengan Perilaku.
g.      Mengetahui  Karakteristik Nilai, Moral dan Sikap pada Remaja
h.      Mengetahui Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap.
i.        Mengetahui Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral dan Sikap.
j.        Mengetahui Upaya pengembangan Nilai, Moral dan Sikap pada Remaja serta Implikasinya dalam penyelenggaraan Pendidikan.
1.4 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian tentang Latar Belakang masalah yang mendasari tentang penulisan makalah ini, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan  serta Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
Bab ini berupa pembahasan tentang hubungan sosial dan perkembangan aspek-aspek sosial peserta didik
BAB III PENUTUP
Berisi uraian tentang pokok-pokok kesimpulan dan saran-saran yang perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.


BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan Aspek-apek Sosial Peserta Didik

Perkembangan Hubungan Sosial.
Manusia disamping merupakan makhluk pribadi juga merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kepentingan dengan manusia lain, ingin berhubungan dengan orang lain, saling berbagi rasa dan pengalaman dengan orang lain sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, manusia tidak bisa lepas dari lingkungan sosialnya atau manusia-manusia yang ada disekitarnya.
2.1 Pengertian Hubungan Sosial.
Syamsu Yusuf (2007) menyatakan bahwa Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagao proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.
Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.
Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah dirsakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang.
Hubungan sosial diartikan sebagai bagaimana orang / individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya, dan bagaiman pengaruh hubungan itu pada diri individu (Alisjahbana, dkk 1984:24). Sebagai makhluk sosial, manusia selalu terlibat dalam situasi sosial, dimana dapat hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain yang dapat saling mempengaruhi (Walgito,1978)
Menurut simanjutak, dkk (1984: 98) “paling tidak ada 3 tempat penting dalam perkembangan hubungan sosial individu dimulai dari rumah, teman sebaya dan sekolah.”
Sedangkan menurut Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa :
Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang amat kompleks.
Dari kutipan diatas dapatlah dimengerti bahwa semakin bertambah usia anak maka semakin kompleks perkembangan sosialnya, dalam arti mereka semakin membutuhkan orang lain. Tidak dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mampu hidup sendiri, mereka butuh interaksi dengan manusia lainnya, interaksi sosial merupakan kebutuhan kodrati yang dimiliki oleh manusia.
2.2 Pengaruh Hubungan Sosial dengan Tingkah Laku.
Hubungan sosial individu dimulai sejak individu berada di lingkungan rumah bersama keluarganya, segera setelah lahir hubugan bayi dengan orang di sekitarnya terutama ibu pada saat menyusui memiliki arti yang sangat penting. (Boweby : 1987) Perkembangan sosial anak semakin berkembang ketika anak mulai memasuki masa prasekolah, kira- kira usia 18 bulan. Pada usia ini dimulai dengan tumbuhnya kesadaran diri atau yang dikenal dengan kesadaran akan dirinya dan kepemilikannya. Pada masa ini sampai akhir masa sekolah anak mulai mendekatkan diri pada orang-orang lain di sekitarnya. Sehingga lingkungan terutama teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat besar. Dalam konteks ini, Jean Piaget (Monks, dkk. : 1991) mengatakan bahwa permulaan kerjasama dan konfrontmisme sosial semakin bertambah pada saat anak mencapai usia 7-10 tahun dan mencapai puncak antara usia 9-15 tahun, setelah itu mengalami penurunan kembali yang di sebabkan pada masa remaja sudah semakin berkembang keinginan mencari dan menemukan jati dirinya sehingga konfrontmisme semakin berbenturan dengan upaya mencapai kemandirian atau individuasi.
Dalam perkembangan sosial anak, mereka dapat memikirkan dirinya dan orang lain. Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah kepenilaian diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Hasil pemikiran dirinya tidak akan diketahui oleh orang lain, bahkan sering ada yang menyembunyikannya atau merahasiakannya.
Pikiran anak sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemampuan abstraksi anak sering menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semstinya menurut alam pikirannya.
Disamping itu pengaruh egoisentris sering terlihat, diantaranya berupa :
-          Cita-cita dan idealism yangbaik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan akibat labih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
-          Kemampuan berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain daalm penilaiannya.
Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka sikap ego semakin berkurang dan diakhir masa remaja sudah sangat kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.
2.3 Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
Dalam perkembangan sosial remaja terlihat adanya dua macam gerakan, yaitu gerakan mulai memisahkan diri dari orang tua, dan menuju ke arah teman sebaya. Dua macam gerakan ini bukan merupakan dua hal yang berurutan meskipun yang satu dapat terkait dengan yang kedua. Gerakan pertama tanpa diikui garakan kedua dapat menyebabkan rasa kesepian, dan dalam kondisi yang ekstrim kesepian ini dapat menyebabkan usaha-usaha bunuh diri (Ausabel dalam Monks, dkk.,1996). Dalam masa remaja dapat ditemukan adanya kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan pergaulan. Kesadaran akan kesunyian ini menyebabkan remaja berusaha berhubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan.
Gerakan mulai memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman sebaya merupakan suatu reaksi terhadap status intern individu. Sebagaimana diketahui setelah memasuki pubertas, terjadi suatu diskrepansi yang besar antara kedewasaan/kemasakan secara fisik dengan ikatan sosial pada orang tua. Dalam keadaan sedah dewasa secara fisik dan seksual, namun remaja dalam beberapa hal masih belum mandiri dan tergantung pada keluarga, mereka masih tinggal bersama dengan orang tua, mereka secara ekonomi masih tergantung pada orang tua, dan kadang-kadang hal ini berlangsung lama.
Dalam masa remaja ini, ramaja berusaha untuk melepaskan diri dari milik orang tua dengan tujuan untuk menemukan dirinya. Prose ini oleh Erickson (dalam Monks, dkk., 1996 : 272) disebut proses mencari identitas ego. Pembentukan identitas ini merupakan aspek penting dalam rangka perkembangan kearah individualitas yang mantap, berkembang menjadi individu yang mandiri. Tidak hanya tenggelam dalam peran-peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, tetapi dalam hal-hal tersebut tetap menghayati sebagai pribadi, menjadi diri sendiri. Hal ini merupakan pengalaman yang perlu dialami remaja dalam rangka menuju perkembangan yang sehat.
Berkaitan dengan hal ini, Debesse (dalam Monks, dkk., 1996 : 273) tidak sependapat dengan istilah identitas. Dia berpendapat bahwa remaja sebetulnya ingin menonjolkan apa yang membedakan dengan dirinya dengan orang dewasa, yaitu originalitas nya bukan identitasnya,dan oleh karenanya istilah krisis originalitas lebih tepat dari pada krisis identitas. Usaha remaja untuk menunjukan originalitasnya, ditunjukan dengan pertentangan antara orang dewasa dan solidaritas terhadap teman sebaya. Hal-hal yang menjadi pertentangan antara remaja dengan orang dewasa (terutama orang tua) biasanya seputar masalah pulang terlambat, sikap kurang hormat, kurang sopan, lebih bebas dalam soal seks, moral ke-Tuhanan. Pengertian originalitas disini bukan diartikan originalitas remaja secara individual, namun merupakan sifat khas sekelompok anak-anak muda (sebagai keseluruhan). Mereka cenderung untuk memberikan kesan lain dari pada yang lain, untuk menciptakan suatu gaya sendiri, subkultur sendiri.
Remaja biasanya lebih progresif dari pada orang tuanya. Anak-anak muda menunjukan originalitasnya bersama-sama dalam hal berpakaian, berdandan, gaya rambut, gaya tingkah laku, kesenangan musik, tingkah laku konsumen, pertemuan, pesta-pesta. Untuk hal ini mereka memanifestasikan dirinya sebagai kelompok anak muda yang punya gaya sendiri.
Hal lain yang menonjolkandari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial terjadi dibidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu yang relatif singkat remaja mengalami perubahan yang berarti, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis atau bergabung dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama sebagaimana ketika masa anak-anak menjadi menyukai lawan jenis sebagai teman daripada teman sejenis (hurlock, E.B., 1996 : 214).
 
2.4 Bentuk – Bentuk Tingkah laku Sosial
Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk interkasi sosial diantarannya :
a.        Pembangkangan (Negativisme)
Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun dan mulai menurun pada usia empat hingga enam tahun.
Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap dependent menuju kearah independent.
b.       Agresi (Agression)
Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi ( rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti ; mencubut, menggigit, menendang dan lain sebagainya.
Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka egretifitas anak akan semakin memingkat.
c.       Berselisih (Bertengkar)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain.
d.       Menggoda (Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.
e.       Persaingan (Rivaly)
Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan prestice dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik.
f.       Kerja sama (Cooperation)
Yaitu sikap mau bekerja sama dengan orang lain. Sikap ini mulai nampak pada usia tiga tahun atau awal empat tahun, pada usia enam hingga tujuh tahun sikap ini semakin berkembang dengan baik.
g.      Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior)
Yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap bossiness. Wujud dari sikap ini adalah ; memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dan sebagainya.
h.      Mementingkan diri sendiri (selffishness)
Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya
i.        Simpati (Sympaty)
Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya.
2.5 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak
Perkembangan sosial anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu :
-          Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh keluarga.
-          Kematangan
Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.
-          Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
-          Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan sosial anak didalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang akan datang.
-          Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi
Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.
2.6 Hubungan antara Nilai, Moral, Sikap dengan Perilaku
Perilaku manusia merupakan suatu hal yang kompleks karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Sikap merupakan penentu penting dalam tingkah laku. Sikap yang ada pada seseorang akan memberikan gambaran corak tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui sikap seseorang, orang akan dapat menduga bagaimana respon atau tindakan yang akan diambil oleh orang tersebut terhadap suatu masalah atau keadaan yang dihadapinya. Walaupun reaksi atau perilaku individu tidak selamanya konsisten selamanya konsisten dengan sikapnya, karena sangat tergantung kondisi serta situasi dimana dan pada waktu apa individu tersebut tersebut berada pada saat mengekspresikan sikapnya. Apabila individu berada pada suatu situasi yang bebas dari tekanan atau hambatan yang mengganggu ekspresi sikapnya, maka diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilakunya akan merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya. Sebaliknya bila individu mengalami atau merasakan ada hambatan, conflict of interest, maka apa yang dilakukan individu mungkin tidak sejalan dengan sikap yang ditampakkan, mungkin bertentangan dengan hati nuraninya dan bahkan bertentangan dengan apa yang dipegangnya sebagai kepercayaan.
Sikap dapat dipandang sebagai suatu manifestasi dari nilai-nilai yang dianut individu, karena sikap merupakan organisasi dari keyakinan-keyakinan mengenai suatu objek yang berlangsung relatif lama. Nilai memberikan dasar pertimbangan bagi individu dalam berperilaku, kerena nilai merupakan kriteria yang ada didalam individu yang dapat dipakai untuk mengevaluasi/menilai sistem kebutuhannya.
Nilai mempunyai dua fungsi yaitu, pertama berfungi motivasional, yaitu komponen yang mendorong seseorang untuk mencapai apa yang bernilai bagi seseorang, kedua sebagai standar yang memberi arah dalam perilaku seseorang, karena sistem nilai yang dianut membantu individu untuk mengevaluasi, menilai, memuji atau mengutuk diri sendiri atau orang lain (Rokeach dalam Dirjen Dikti, 1983). Sebai suatu standar atau norma maka nilai disini bertindak sebagai moral.
2.7  Karakteristik Nilai, Moral dan Sikap pada Remaja
Sebelum individu memasuki remeja, biasanya kehidupan teratur dan mengikuti tatacara, aturan tertentu. Ketika memasuki masa remaja, individu tidak lagi begitu saja menerima aturan atau kode moral dari orang atau guru, bahkan teman sebaya. Sebagian mengalami tantangan moral dari generasi yang lebih tua ataupun teman sebaya (Gunarsa, 1978:109).
Masa remaja adalah periode penting dalam pembentukan nilai (Adi, 1986:214; Hurlocks, 1976:278). Kemampuan kognitif remaja yang makin meningkat menambah kesadaran mereka akan nilai dan moral. Pencapaian  tingkat perkembangan baik fisik maupun psikologis tersebut membuat banyak remaja mengalami perubahan dalam sikap dan perilakunya.
Pada masa remaja ini biasanya terdapat perubahan sikap yang cukup mencolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakteristik remaja yaitu sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya (Gunarsa, 1986:219;1988:94). Hal ini disebabkan karena remaja ingin membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep benar dan salah yang telah diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sendiri.
Selanjutnya remaja membentuk kode sendiri berdasarkan konsep benar dan salah yang telah diubah dan diperbaiki agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan diperbaiki agar sesuai dengan hukum-hukum dan peraturan yang dipelajari dari orang tua dan guru atau sumber lainnya. Beberapa remaja bahkan melengkapi kode moral mereka dengan pengetahuan yang diperoleh dari pelajaran agama (Hurlock.E.B.1996:226).
Berkaitan dengan hal ini sikap baik dalam moral dan tuntutan keagamaan hanya mungkin terjadi jika aspek-aspek kognitif (pikiran, ingatan, fantasi, kesan), konatif (dorongan, keinginan, kemauan), serta afektif (perasaan harga diri, perasaan sosial, perasaan ke-Tuhanan, ketakutan dan kecemasan) senantiasa diwarnai oleh pengetahuan agama yang meyakinkan.
2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Perkembangan nilai, moral, dan sikap individu sejalan dengan perkembangan usianya yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungannya. Individu  yang berinteraksi dengan lingkungannya akan mendapatkan pembelajaran berbagai macam aspek kehidupan termasuk didalamnya aspek nilai, moral, dan sikap. Dalam kaitan inilah maka lingkungan merupakan faktor penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai, moral, dan sikap-sikap individu (Gunarsa, 1988:37;Harrocks, 1976:278).
Faktor-faktor lingkungan  yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap mencakup aspek religi, psikologis, sosial, budaya, serta fisik kebendaan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat beragama.
Individu yang tumbuh dan berkembang pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang baik cenderung menjadi individu yang cenderung memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, serta sikap terpuji. Sebaliknya, individu yang tumbuh dan berkembang pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang jelek cenderung tidak memiliki nilai-nilai luhur, moralitas yang rendah, serta sikap dan perilaku yang tidak terpuji.
2.9  Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral dan Sikap
Perbedaan ini dipengaruhi oleh struktur budaya dan kelompok sosialnya sehingga berbeda setiap kelompoknya. Hal – hal yang berkaitan dengan nilai universal kemanusiaan memiliki pandangan yang sama tiap kelompoknya. Setiap individu memiliki nilai fase, tempo dan irama perkembangan senidri sendiri dan lingkungan budaya dan agama yang heterogen.
Menurut Kohlberg, setiap individu dapat mencapai sebanyak – banyaknya enam tingkat perkembangan. Namun waktu mendapatkannya tidak dapat diketahui secara pasti. Sehinnga dapat dimungkinkan individu yang lahir relative bersamaan tapi berbeda dalam tingkat pemikiran moralnya.
2.10 Upaya pengembangan Nilai, Moral dan Sikap pada Remaja serta Implikasinya dalam penyelenggaraan Pendidikan.
Upaya ini perlu dilakukan oleh segala pihak yakni keluarha, sekolah dan masyarakat yang akan sangat membantu pengembangan hubungan social para remaja. Keluarga adalah pihak yang utama dan pertama dalam melakukan tugas ini, kemudian berlanjut pada sekolah dan masyarakat.
Upaya pengembangan Nilai, Moral dan Sikap dapat dilakukan dengan cara berikut :
a.       Modelling
Diperlukan contoh nyata untuk ditiru dan diidentifikasi oleh remaja sebagai dasar pemebentukan niali moral dan sikapnya. Dalam keluarga, Orang tua harus menjadi contoh yang baik karena akan ditiru oleh anaknya. Orang tua harus berhati hati dalam bertindak dan bertutur kata agar tak menjadi contoh negative.
Di sekolah, guru adalah model nyatta yang menjadii panutan siswanya. Sehingga guru juga harus mengembangkan ketrampilan aser;tif dan menyimaknya.
b.      Fasilitasi Nilai
Merupakkan pemberian kesempatan kepada individu dalam hal fasilitasi berpikir, membuat keptusan secara mandiri bertindak sesuai system nilai universal yang diyakini. Dalam hal ini perlu dikembangakan sikap musyawarah, saling mennghormati, menghargai serta mendengar pendapat anak. Orang tua hendakanya memberi kebebasan bertanggung jawab terhadap anaknya.
c.       Pengembangan
Dilaksanakan agar siswa dapat mengamalkan nilai yang dianut sehinggan berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan yang dimaksud adalh berpikir kreatif dan kritis, berkomunikasi secara jelas, menyimak serta bertindak asertif dan menemukan solusi konflik.
d.      Inkulkasi
Ciri – cirinya :
-          Mengkomunikasikan kepercayaan serta dengan alasan yana melandasinya.
-          Memperlakukan orang xecara adil
-          Menghargai pendapat orang lain
-          Mengungkapakan ketidakpercayaan dan keraguan dengan alasan dan bersikap santun.
-          Tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan
-          Menciptakan pengalaman social dan emosional
-          Membuat aturan, memberikan penghargaan dan kosekuensi dengan alasan jelas
-          Tetap membuak komunikasi dengan pihak yang tak setuju
-          Kebebasan terhadap perbedaan dan memeberikan adannya perilaku, kalau memungkinkan memberikan arahan agar bberubah.
Agar tak bersikap indoktrinasi, guru hendaknya sebagai pemimpin buakn yang memaksa.Secara khusus upaya ini telah diprogamkan lewat mapel PKn, PAI . Etika, budi pekerti dan lain sebagainya. Sedangkan dimasyarakat dengan organisasi politik , masyarakatm, agama dan lain – lain. Oleh karena itu perlu wadah seperti karang taruna untuk kesuksesan upaya ini. 
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hubungan sosial diartikan sebagai bagaimana orang / individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya, dan bagaiman pengaruh hubungan itu pada diri individu (Alisjahbana, dkk 1984:24).
Dalam perkembangan sosial remaja terlihat adanya dua macam gerakan, yaitu gerakan mulai memisahkan diri dari orang tua, dan menuju ke arah teman sebaya. Dalam masa remaja dapat ditemukan adanya kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan pergaulan.
Bentuk – Bentuk Tingkah laku Sosial yaitu Pembangkangan, Agresi, Berselisih, Menggoda, Persaingan, Kerjasama, Tingkah laku berkuasa, Memetingkan diri sendiri dan simpati.
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak keluarga, kematangan, status sosial ekonomi, pendididkan, emosi dan intelegensi.
Upaya pengembangan Nilai, Moral dan Sikap dapat dilakukan dengan cara Modelling, fasilitas nilai , pengembangan, dan  inkulkasi.

3.2 Saran
-          Hendaknya guru selalu memantau perkembangan sosial peserta didiknya sehingga tidak terjerumus ke hal-hal negatif.
-          Orang tua juga perlu mengawasi lingkungan sosial anak nya.
-          Sebaiknya anak di terjunkan ke lingkungan sosial yang bersifat positif, sehingga tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.




2 komentar: