1.
TEKNIK PENGUMPULAN
DATA PADA PTK
A.
Jenis-jenis Data
dalam Penelitian
Di dalam kegiatan penelitian, keberadaan data merupakan
komponen yang sangat penting, karena seperti apapun penelitian yang dirancang
oleh peneliti tujuannya adalah untuk memperoleh data. Jika kita kaji dan kita
pilah secara cermat, maka kita akan menemukan beberapa jenis data. Kerlinger (1993) mengemukakan bahwa pemahaman
terhadap jenis data dalam penelitian akan mengarahkan seorang peneliti untuk
memilih instrumen yang cocok dengan data yang diinginkannya tersebut. Menurut
jenisnya data dalam penelitian dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu data nominal,
data ordinal, data interval, dan data ratio (Kerlinger, 1993). Berikut
penjelasan dan contoh dari masing-masing jenis data tersebut.
Data nominal adalah suatu data yang hanya terpilah menjadi
dua bagian atau dua pilihan, atau dua kategori dimana yang satu dengan lainnya
terpisah secara tegas (Kerlinger, 1993; Babbie, 1986; Gay, 1981). Contoh jenis data nominal:
·
Laki-laki Perempuan
·
Tua Muda
·
Kota Desa
·
Ya Tidak
·
Siang Malam
·
Sekolah Tidak sekolah
·
Kaya Miskin
2.
Data ordinal
Data ordinal ialah suatu data yang menunjukkan urutan dalam
kedudukan masing-masing data/data urutan peringkat/jenjang yang tidak
menunjukkan kuantitas absolut (Kerlinger, 1993). Contoh data ordinal:
·
Peringkat kejuaraan.
·
Urutan angka 1, 2, 3, 4, dan
seterusnya.
·
Jenjang pendidikan.
·
Pemeluk agama/keyakinan.
·
Kelompok etnik/suku.
·
Jenis kendaraan.
·
Kelompok makanan.
·
Jenis pekerjaan, dll.
3.
Data interval
Data interval adalah suatu data yang menunjukkan jarak yang
memiliki ciri nominal dan ordinal. Di samping itu jarak keangkaan yang sama
pada skala interval mewakili jarak yang sama pula dalam hal pemilikan sifat
yang diukur.
Contoh data
interval:
a b
c d e
1 2 3
4 5
a/1 = Tidak
pernah Sangat tidak setuju
b/2 = Hampir tidak
pernah Tidak
setuju
c/3 = Pernah Ragu-ragu
d/4 = Kadang-kadang Setuju
e/5 = Selalu Sangat
setuju
4.
Data ratio
Data ratio/nisbat ialah data pengukuran yang sangat tinggi,
yang mempunyai ciri-ciri skala nominal, ordinal, dan interval, dan juga
memiliki nol mutlak atau nol natural yang mengandung makna empirik. Jika suatu
pengukuran menggunakan nol pada suatu skala rasio, maka dapat dikatakan bahwa
obyek tertentu tidak memiliki sifat yang sedang diukur. Angka-angka pada skala rasio menunjukan besaran
sesungguhnya pada sifat yang diukur. Untuk ilmu sosial jarang sekali menggunakan
skala rasio.
Contoh data skala rasio
Skor 8 mempunyai
prestasi 2 x lebih baik dari yang mendapatkan skor 4 dalam suatu mata pelajaran
(Kerlinger, 1993).
B.
Teknik Pengumpulan
Data Melalui Tes
Untuk memperoleh data
di dalam kegiatan penelitian, seorang peneliti dapat menggunakan
berbagai teknik. Penggunaan dari salah satu atau beberapa teknik pengumpulan
data sangat tergantung pada jenis data yang akan dikumpulkan, tujuan penelitian
dan tentu saja pemahaman peneliti tentang teknik yang akan dipergunakan
tersebut serta kemampuannya untuk melaksanakan penelitian dengan
mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait. Sebagai contoh, seorang peneliti
melakukan penelitian tentang motivasi dan hasil belajar siswa pada beberapa
sekolah yang telah ditentukannya. Terkait dengan penelitian tersebut seorang
peneliti terlebih dahulu menjelaskan jenis data yang akan dikumpulkan. Untuk
mengkaji motivasi siswa, misalnya guru dapat menggunakan beberapa teknik yang
dapat dipilih, misalnya observasi, wawancara, atau kuesioner. Untuk menghimpun
data tentang hasil belajar siswa, dapat dipergunakan tes yang dibuat peneliti
sendiri, peneliti bersama guru, atau menggunakan instrumen tes yang standar. Di
samping menggunakan tes, juga dapat mengkaji hasil-hasil belajar, hasil-hasil
ulangan siswa yang lebih dikenal dengan teknik studi dokumenter.Dalam
pelaksanaan tugas Anda sehari-hari, pelaksanaan tes sebagai cara memahami
kemampuan siswa tentu sudah sangat tidak asing bagi Anda. Namun untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam dan menambah wawasan tentang
cara-cara pengumpulan data melalui tes, maka bagian ini perlu kita kaji bersama
dengan lebih cermat.
Teknik tes atau kadang-kadang juga disebut sistem testing
merupakan usaha untuk memahami atau memperoleh data tentang siswa. Dalam
pandangan lain juga dikemukakan bahwa tes sebagai suatu prosedur yang
sistematis untuk mengobservasi (mengamati) tingkah laku individu, dan
menggambarkan atau mendeskripsikan
tingkah laku itu melalui skala angka atau sistem kategori. Nurkancana
dan Sumartana (1986: 25) mendefinisikan tes sebagai suatu cara untuk mengadakan
penilaian yang berbentuk suatu tugas atau
serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak atau sekelompok anak
sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasi anak tersebut, yang dapat
dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh anak-anak lain atau dengan nilai
standar yang ditetapkan. Jika defenisi ini dianalisis, maka kita menemukan
beberapa hal penting yang dapat kita simpulkan yaitu:
1.
Tes adalah suatu bentuk tugas
yang terdiri dari sejumlah pertanyaan atau perintah-perintah.
2.
Tes diberikan kepada seorang anak
atau sekelompok anak untuk dikerjakan.
3.
Bahwa respon atau jawaban anak
atau kelompok anak tersebut dinilai.
Penggunaan teknik tes, khususnya tes prestasi belajar bagi
guru di sekolah bertujuan untuk:
a.
Menilai kemampuan belajar murid.
b.
Memberikan bimbingan belajar
kepada murid.
c.
Mengecek kemajuan belajar.
d.
Memahami kesulitan-kesulitan
belajar.
e.
Memperbaiki teknik mengajar.
f.
Menilai efektivitas
(keberhasilan) mengajar.
Arikunto (1988), mengemukakan bahwa tes sebagai instrumen
pengumpulan data dibedakan menjadi dua,
yaitu:
1.
Tes buatan guru, yaitu tes yang
disusun oleh guru dengan prosedur tertentu, akan tetapi belum mengalami uji
coba berkali-kali sehingga tidak diketahui ciri-ciri dan kebaikannya.
2.
Tes standar (standardized tes),
yaitu tes yang biasanya sudah tersedia di lembaga testing, yang sudah terjamin
keampuhannya. Tes ini sudah mengalami uji coba berkali-kali, direvisi
berkali-kali sehingga sudah dapat dikatakan cukup baik. Di dalam setiap tes
yang terstandar, sudah dicantumkan petunjuk pelaksanaan, waktu yang dibutuhkan,
bahan yang tercakup, dan hal-hal lain, misalnya validitas dan reabilitas tes.
Dalam pembahasan tentang bentuk-bentuk tes, Gall & Borg
(2002: 209) mengemukakan terdapat beberapa bentuk tes performance, yaitu:
a.
Intelligence tests atau tes
intelegensi
b.
Aptitude tests atau tes sikap
c.
Achievement tests atau tes hasil
belajar
d.
Diagnostic tests atau tes
diagnostik, dan performance assessment
atau penilaian kinerja.
Di antara bentuk tes yang paling sering dipergunakan guru
adalah tes hasil belajar. Jika dilihat dari beberapa dimensi atau sudut
pandangan, tes hasil belajar sebagai salah satu bentuk yang diarahkan untuk mengetahui hasil atau prestasi belajar
siswa dibedakan atas beberapa jenis. Berdasarkan jumlah atau pengikut tes, maka
tes hasil belajar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tes individual dan tes
kelompok (Nurkancana dan Sumartana, 1986: 25). Tes individual adalah suatu tes
dimana pada saat tes tersebut diberikan kita hanya menghadapi satu orang anak.
Sedangkan tes kelompok, yaitu dimana pada saat tes diberikan, kita menghadapi sekelompok
anak. Tes hasil belajar disamping dapat
dikaji dari jumlah atau pengikut tes sebagaimana dikemukakan di atas, juga dapat
ditinjau dari segi penyusunannya.
Dilihat dari segi penyusunannya tes dibedakan atas tiga
jenis, yaitu tes buatan guru, tes buatan orang lain yang tidak distandarisasi,
dan tes standar atau tes yang sudahdistandarisasi.
a.
Tes buatan guru, yaitu tes yang
disusun sendiri oleh guru yang akan mempergunakan tes tersebut.
b.
Tes buatan orang lain yang tidak
distandarisasi, adalah tes yang dibuat orang lain yang dianggap cukup baik yang dapat
dipergunakan oleh guru. Tes jenis ini
misalnya tes yang disusun oleh teman-teman sejawat guru yang lebih berpengalaman, atau tes yang dimuat pada
akhir tiap-tiap bab dari buku pelajaran.
c.
Tes standar atau tes yang telah
distandarisasi, yaitu tes yang telah cukup valid dan reliabel berdasarkan atas uji coba
berkali-kali terhadap sampel yang cukup luas dan representatif.
Selain dari sudut pandang di atas, jenis tes hasil belajar
juga dapat dikaji dari bentuk jawaban atau bentuk respon. Berdasarkan bentuk
jawaban atau bentuk respon ini, tes hasil belajar dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu:
a.
Tes tindakan, yaitu suatu tes
dimana jawaban atau respon yang diminta dari anak berbentuk tingkah laku. Jadi
anak berbuat sesuai dengan perintah atau pertanyaan yang diberikan. Misalnya
dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, untuk mengetahui apakah
seorang anak sudah dapat berenang dengan gaya tertentu, maka cara yang paling
baik adalah menyuruh anak tersebut mempraktekkan langsung cara berenang yang
dikehendaki. Jika anak dapat melakukan sesuai dengan kriteria yang ditentukan
guru, maka berarti anak tersebut telah menguasai tes yang diberikan dalam
bentuk tindakan tersebut.
b.
Tes verbal, yaitu suatu tes,
dimana jawaban atau respon yang diberikan oleh anak-anak berbentuk bahasa, baik
bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Dalam keadaan ini, anak akan mengucapkan
atau menulis jawabannya sesuai dengan pertanyaan atau perintah yang diberikan.
Selain ditinjau dari bentuk jawaban atau respon yang
diberikan, tes juga dapat dilihat dari bentuk pertanyaan yang diberikan oleh
guru. Bentuk tes ini tentu sudah sangat sering Anda terapkan didalam kegiatan
pembelajaran sehari-hari. Jenis tes ini dibedakan menjadi dua, yaitu tes
obyektif dan tes essay.
1.
Tes obyektif
Tes obyektif adalah
bentuk tes yang terdiri dari item-item yang dapat dijawab dengan cara memilih
salah satu alternatif yang benar dari sejumlah alternatif yang tersedia, atau
dengan mengisi jawaban dengan beberapa perkataan atau simbul tertentu. Ada beberapa
bentuk tes obyektif, yaitu:
a.
Tes benar salah (true-false),
adalah tes yang butir-butir soalnya mengharuskan agar siswa mempertimbangkan
suatu pernyataan sebagai pernyataan yang benar atau salah. Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan di dalam penyusunan tes obyektif bentuk benar-salah
ini:
·
Meyakinkan sepenuhnya bahwa butir
soal tersebut dapat dipastikan benar atau salah.
·
Jangan menulis butir soal yang
memindahkan satu kalimat secara harfiah dari teks.
·
Jangan menulis butir soal yang
memperdayakan.
·
Menghindari pernyataan negatif.
·
Menghindari pernyataan berarti
ganda.
·
Menggunakan suatu bentuk yang
tepat.
·
Menghindari kata-kata kunci,
seperti pada umumnya, semua, dan yang lain.
·
Menghindari jawaban benar yang
terpola.
b.
Tes pilihan ganda (multiple choice),
adalah suatu item yang terdiri dari suatu statemen yang belum lengkap. Untuk
melengkapi statemen tersebut disediakan beberapa statemen sambungan. Satu
diantaranya merupakan sambungan yang benar sedangkan yang lain adalah sambungan
yang tidak benar (Nurkancana dan Sumartana, 1986; Dimyati dan Mudjiono, 1994).
Item multiple choiceini dapat pula berupa suatu pertanyaan yang telah
disediakan beberapa buah jawaban, dimana hanya satu dari jawaban-jawaban yang
disediakan tersebut merupakan jawaban yang benar. Alternatif pilihan yang
disediakan disebut “option”, sedangkan. Jawaban-jawaban atau statemen sambungan
yang tidak benar disebut pengecoh. Bloom, 1981 (Dimyati dan Mudjiono, 2004:
200) mengingatkan beberapa kaidah yang harus diperhatikan didalam penyusunan
soal pilihan ganda.
a)
Pokok soal (stem) yang merupakan
permasalahan harus dirumuskan secara jelas.
b)
Perumusan pokok soal dan
alternatif jawaban hendaknya merupakan pernyataan yang diperlukan saja.
c)
Untuk satu soal, hanya ada satu
jawaban yang benar atau yang paling benar.
d)
Sedapat mungkin dihindarkan
perumusan pernyataan yang bersifat negatif pada pokok soal.
e)
Alternatif jawaban (option)
sebaiknya logis, dan pengecoh harus berfungsi (menarik).
f)
Diusahakan agar tidak ada
petunjuk untuk jawaban yang benar.
g)
Diusahakan agar mencegah
penggunaan pilhan jawaban yang terakhir berbunyi “semua pilihan jawaban di atas
benar”, atau “semua pilihan jawaban di atas salah”.
h)
Diusahakan agar pilihan jawaban
homogen, baik dari segi isi maupun panjang pendeknya pertanyaan.
i)
Apabila pilihan jawaban berbentuk
angka, susunlah secara berurutan dari angka yang terkecil diletakkan di atas
sampai angka terbesar yang diletakkan di bawah.
j)
Di dalam pokok soal diusahakan
tidak menggunakan ungkapan atau kata-kata yang bersifat tidak tentu, seperti
seringkali, kadang-kadang, pada umumnya dan kata-kata sejenis.
k)
Diusahakan agar jawaban butir
soal yang satu tidak bergantung dari jawaban butir soal yang lain.
l)
Dalam merakit soal diusahakan
agar jawaban yang benar (yang menjadi kunci jawaban) letaknya tersebar antara
a, b, c, d, atau ditentukan secara acak, sehingga tidak terjadi pola jawaban
tertentu.
c.
Tes menjodohkan (Maching), adalah
suatu bentuk tes yang biasanya terdiri dari dua kolom yang paralel, dimana
masing-masing berisi uraian-uraian, keterangan-keterangan atau statemen. Dengan
kata lain merupakan bentuk tes yang butir-butir soalnya terdiri dari satu
daftar premis dan satu daftar jawaban yang sesuai (Dimyati dan Mujiono, 2004;
Nurkancana, 1986: 36). Dalam penyusunan soal bentuk menjodohkan ini, ada
beberapa kaidah yang harus diperhatikan.
a)
Meyakinkan bahwa pertanyaan dapat
dijawab dengan kata atau penggalan kalimat yang mudah atau khusus, dan hanya
ada satu jawaban yang benar.
b)
Menggunakan bentuk yang cocok.
c)
Jangan memutus-mutus butir soal
melengkapi.
d)
Menghindari pemberian petunjuk ke
arah jawaban yang benar.
e)
Menunjukkan bagaimana seharusnya
jawaban yang benar.
Tes obyektif sebagai salah satu bentuk teknik pengumpulan
data, khususnya berkenaan dengan siswa, memiliki kelebihan dan kelemahan.
Kelebihannya adalah:
1.
Dapat dijawab dengan cepat,
sehingga memungkinkan siswa menjawab sejumlah besar pertanyaan dalam satu
periode tes. Terkait dengan hal ini maka materi tes yang diberikan dapat
mencakup lebih luas bahan pelajaran yang disampaikan.
2.
Reliabilitas skor yang diberikan
terhadappekerjaan siswa dapat lebih terjamin.
3.
Jawaban-jawaban tes obyektif
dapat dikoreksi dengan mudah dan cepat.
Di samping beberapa kebaikan atau kelebihan tes obyekif
sebagaimana dikemukakan di atas, ada juga segi-segi kelemahannya, antara lain:
a.
Kemungkinan siswa untuk menerka
jawaban akan lebih besar
b.
Karena jumlah item pada tes
obyektif pada umumnya lebih banyak, maka diperlukan biaya yang lebih besar.
Anda dapat mengkaji kembali secara seksama tentang beberapa hal berkenaan
dengan tes obyektif di atas. Diskusikan dengan rekan-rekan Anda atau tanyalah
kepada orang-orang yang dapat membantu memperjelas pemahaman Anda, terutama
jika Anda menemukan bagian-bagian dari uraian tersebut yang sulit Anda pahami.
2.
Tes Essay
Tes essay adalah
suatu bentuk tes yang terdiri dari suatu pertanyaan yang menghendaki jawaban
berupa uraian-uraian yang relatif panjang. Bentuk-bentuk petanyaan yang
mengharuskan siswa untuk menjelaskan, membandingkan, menginterpretasikan atau
mencari perbedaan. Semua bentuk pertanyaan mengharuskan siswa untuk mampu
menunjukkan pengertian atau pemahaman mereka terhadap materi yang dipelajari
(Nurkancana dan Sumartana, 1986: 42). Sebagaimana bentuk tes obyektif, tes
bentuk essay juga memiliki kebaikan dan kelemahan. Kebaikannya antara lain:
a.
Tes essay sangat tepat
dipergunakan untuk menilai atau mengukur hasil dari suatu proses belajar yang
kompleks, yang sukar diukur dengan menggunakan tes obyektif.
b.
Tes essay memberi peluang yang
besar kepada siswa untuk menyusun jawaban sesuai dengan jalan pikirannya
sendiri. Keadaan ini sangat penting untuk melatih siswa agar terbiasa
mengemukakan jalan pikirannya secara terarah dan sistematis.
Sedangkan beberapa kelemahan tes
essay adalah:
a.
Pemberian skor terhadap jawaban
tes essay kurang reliabel terutama disebabkan karena tidak hanya satu jawaban
yang biasa diterima. Di samping itu juga disebabkan tingkat kebenaran jawaban
tersebut sangat bervariasi.
b.
Tes essay menghendaki
jawaban-jawaban yang relatif panjang. Karena itu dibutuhkan waktu yang lebih
lama pula untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan, sehingga dalam satu
periode tes hanya dapat diberikan beberapa item tes saja.
c.
Materi yang diberikan di dalam
tes tidak dapat mencakup secara luas materi pelajaran yang telah disampaikan,
sehingga sangat dimungkinkan hasil yang dicapai bersifat kebetulan, karena
pertanyaan yang diberikan secara kebetulan sesuai dengan bagian materi yang
dipelajarinya.
d.
Mengoreksi tes essay memerlukan
waktu yang cukup lama, serta menghabiskan energi yang cukup banyak terlebih
lagi bilamana peserta tes jumlahnya cukup besar, karena setiap jawaban harus
dibaca satu persatu secara teliti. Untuk mengurangi beberapa kelemahan pada tes
essay di atas, perlu diperhatikan beberapa saran berikut:
a)
Materi pelajaran yang akan diukur
melalui tes essay perlu diperiksa terlebih dahulu. Bagian yang akan diukur
melalui tes essay hendaknya hanya bagian-bagian yang kurang cocok jika diukur
dengan tes obyekif.
b)
Item-item tes essay hendaknya
dibuat dengan jelas sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan siswa.
Pentingnya pemahaman tentang tes sebagai salah satu teknik
pengumpulan data digambarkan dalam contoh pengambilan data dengan Skala
Inteligensi Stanford-Binet sebagaimana dipaparkan (Arikunto, 1998), kasus di
mana ada enam orang wanita dan enam orang pria melaksanakan tes Stanford Binet
terhadap sampel anak-anak usia 4 tahun. Hasil tes menunjukkan anak-anak yang
dites oleh wanita mencapai IQ yang lebih tinggi (89,61) dibandingkan dengan
anak-anak yang dites oleh pria (83,16), suatu perbedaan yang cukup signifikan.
Contoh tersebut mengilustrasikan kepada kita bahwa hasil pengetesan tidak
secara murni dapat menggambarkan IQ, akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh
tester. Karena itu dalam pelaksanaan tes seperti itu menurut Arikunto (1998),
perlu diadakan latihan bagi tester agar dapat mengurangi pengaruh yang tidak
diinginkan yang dapat merugikan orang-orang yang mengikuti tes tersebut. Untuk
meningkatkan obyektivitas hasil tes ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
a.
Memberi kesempatan berlatih
kepada tester (orang yang melaksanakan tes).
b.
Menggunakan tester lebih dari
satu orang, kemudian hasilnya dibandingkan.
c.
Melengkapi instrumen tes dengan
manualatau pedoman pelaksanaan selengkap dan sejelas mungkin.
d.
Menciptakan situasi tes
sedemikian rupasehingga membantu tester (orang yang mengerjakan tes) tidak mudah
terganggu oleh lingkungan.
e.
Memilih situasi tes
sebaik-baiknya, misalnya bukan malam Minggu, bukan dalam keadaan udara yang
sangat panas, bukan sehabis liburan panjang, menjelang ujian, dan sebagainya.
f.
Perlu menciptakan kerjasama yang
baik dan rasa saling percaya antara tester yang satu dengan tester lainnya.
g.
Menentukan waktu untuk
mengerjakan tes secara tepat, baik ketepatan pelaksanaan maupun lamanya.
h.
Memperoleh izin dari atasan jika
tes tersebut dilaksanakan di sekolah atau di kantor-kantor
C.
Penggunaan
Teknik-teknik Non Tes untuk Pengumpulan Data PTK
a.
Pengamatan atau
Observasi
Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya sudah ditekankan
bahwa pelaksanaan tindakan di dalam PTK secara bersamaan juga dilakukan
observasi dan interpretasi, sehingga dapat dikatakan pelaksanaan tindakan dan
observasi/interpretasi berlangsung secara simultan. Artinya, data yang diamati
tersebut langsung diinterpretasikan, tidak sekedar direkam. Misalnya, jika
seorang siswa berhasil mengerjakan sesuatu dengan baik, kemudian guru memberi
pujian kepada siswa tersebut, yang direkam bukan hanya jenis pujian yang diberikan
tetapi juga dampaknya bagi siswa yang mendapat pujian. Dampak ini dapat
diinterpretasikan dari sikap dan partisipasi siswa dalam pembelajaran setelah
mendapat pujian. Dengan cara ini, guru sebagai aktor utama dapat melakukan
penyesuaian-penyesuaian, sehingga komitmennya sebagai pengajar tidak terganggu
oleh metode penelitian yang sedang diterapkan. Misalnya, jika ternyata pujian
yang diberikan membuat siswa menjadi bahan ejekan, guru akan mengubah cara
memberi penguatan. Namun, perlu dicatat, tidak semua data memerlukan
interpretasi. Ada hasil pengamatan yang hanya merupakan rekaman faktual tanpa
memerlukan interpretasi, sehingga pengamat cukup hanya merekam apa yang dilihat
tanpa perlu memberi makna kepada hasil rekaman. Misalnya, sebagaimana yang dirujuk
oleh Joni (1998), pengamatan ala Flanders yang hanya merekam data dalam tiga
kategori yaitu: pembicaraan guru, pembicaraan siswa, dan sepi (tanpa
pembicaraan), tidak memerlukan interpretasi pada saat rekaman dilakukan. Inilah
yang dinamakan “lowinference observation”, sedangkan pengamatan yang
mempersyaratkan interpretasi atau penafsiran ketika merekam data disebut
sebagai “high-inference observation”.
Pelaksanaan observasi sebagai alat pengumpulan data
memerlukan persiapan. Salah satu komponen yang perlu diperhatikan didalam
persiapan pelaksanaan observasi adalah cara perekaman data. Artinya, apa yang
harus direkam dan bagaimana merekamnya melalui observasi tersebut harus
ditentukan secara jelas. Misalnya pada PTK yang dilaksanakan guru, data yang dikumpulkan
adalah berkenaan dengan partisipasi siswa di dalam kegiatan diskusi kelompok,
maka terlebih dahulu guru menentukan cara merekam data, apakah akan menggunakan
format observasi atau menggunakan catatan lapangan. Sesuai dengan hakekat PTK
dan mengacu kepada peran guru sebagai aktor utama dalam PTK, idealnya observasi
tersebut dilakukan oleh guru sendiri. Namun, jika observasi atau perekaman data
tersebut terlalu menyita waktu guru dan mengakibatkan konsentrasi guru dalam
mengajar terganggu, maka guru dapat menggunakan bantuan alat perekam atau
meminta teman sejawat untuk membantu mengumpulkan data melalui observasi.
1.
Prinsip dan Jenis
Observasi
Secara sederhana, observasi dapat diartikan sebagai prosedur
sistematis dan baku untuk memperoleh data (Kerlinger, 1993). Dalam pembahasan
Cartwright and Cartwright (1998: 3), observasi merupakan proses pengamatan
secara sistematis dengan melakukan perekaman terhadap perilaku tertentu untuk
tujuan pembuatan keputusan-keputusan pengajaran. Terkait dengan proses
pembelajaran dan pelaksanaan observasi, ada beberapa hal yang perlu dilakukan
guru:
a.
Guru harus memutuskan apa yang
akan diajarkan serta apa yang harus siswa lakukan didalam pencapaian tujuan
pembelajaran.
b.
Guru harus memutuskan bagaimana
konsekuensi tujuan pembelajaran dan prosedur pembelajaran.
c.
Guru harus memutuskan bagaimana
prosedur atau metode melaksanakan pembelajaran.
d.
Guru perlu memutuskan bahan yang
dipergunakan dan bagaimana menyajikannya kepada siswa.
e.
Guru harus menentukan bagaimana
menata atau mengontrol situasi pembelajaran di kelas.
f.
Guru harus memutuskan cara
mengorganisasikan waktu yang tersedia di dalam kegiatan pembelajaran.
g.
Guru harus memutuskan cara
mengelompokkan siswa di dalam proses pembelajaran.
h.
Guru harus memutuskan cara
menciptakan lingkungan kelas dengan baik.
i.
Guru harus menentukan kapan dan
bilamana diperlukan resourcher person untuk mendukung kelancaran
kegiatan pembelajaran.
Observasi yang baik
mempunyai prinsip dasar atau karakteristik yang harus diperhatikan, baik oleh
pengamat maupun yang diamati. Hopkins (1993) menyebutkan ada lima prinsip dasar
atau karakteristik kunci observasi, yang secara singkat dapat dideskripsikan seperti
berikut ini.
a.
Perencanaan Bersama
Perencanaan bersama adalah upaya membangun kesepakatan
bersama antara guru yang melaksanakan tindakan dengan pengamat yang membantu
proses pengamatan selama kegiatan pembelajaran dilakukan. Perencanaan bersama
ini dilakukan terutama jika guru yang melaksanakan PTK membutuhkan bantuan
orang lain, misalnya rekan-rekan sejawat yang akan membantu mengamati proses
pembelajaran yang dilakukannya. Perencanaan bersama ini bertujuan untuk
membangun rasa saling percaya dan menyepakati beberapa hal seperti fokus yang
akan diamati, pelajaran yang akan berlangsung, serta aturan lain seperti berapa
lama pengamatan akan berlangsung, bagaimana sikap pengamat kepada siswa, dan
dimana pengamat akan duduk.
b.
Fokus
Fokus pengamatan merupakan aspek-aspek pokok yang menjadi
sasaran utama pengamatan. Fokus pengamatan mungkin sangat luas atau umum,
tetapi dapat pula sangat khusus atau spesifik. Fokus yang luas membutuhkan
pertimbangan dan penafsiran yang lebih mendalam serta subyektivitas akan sulit
dihindari. Di dalam menentukan aspek yang diamati, hal yang harus diingat
peneliti adalah, semakin banyak objek yang diamati, akan semakin sulit, dan
hasilnya akan semakin tidak teliti (Arikunto, 1998: 135). Karenanya diupayakan
agar fokus tidak terlalu luas, karena fokus yang terlalu luas disamping sulit
diamati, juga kurang bermanfaat bagi guru yang diamati. Sebaliknya, fokus yang
sempit atau spesifik akan menghasilkan data yang sangat bermanfaat sebagai data
dan informasi bagi guru yang melaksanakan PTK.
c.
Membangun Kriteria
Kriteria observasi adalah patokan yang ditetapkan untuk
melihat tingkat keberhasilan observasi. Observasi akan sangat membantu guru,
jika kriteria keberhasilan atau sasaran yang ingin dicapai sudah disepakati
sebelumnya. Dengan kriteria seperti ini, pengamat dapat merekam data yang
relevan secara cermat sesuai dengan aspek-aspek yang dikaji. Karena itu
kesepakatan bersama tentang kriteria yang menjadi patokan ini merupakan bagian
penting untuk mendukung terkumpulnya data yang diinginkan bersama antara
pengamat dan guru yang melaksanakan PTK.
d.
Keterampilan
Observasi
Seorang pengamat yang baik memiliki tiga keterampilan,
yaitu: (1) dapat menahan diri untuk tidak terlalu cepat memutuskan dalam
menginterpretasikan suatu peristiwa; (2) dapat menciptakan suasana yang memberi
dukungan dan menghindari terjadinya suasana yang dapat mengganggu iklim kelas,
dan (3) menguasai berbagai teknik untuk menemukan peristiwa atau interaksi yang
tepat untuk direkam, serta alat / instrumen perekam yang efektif untuk episode
tertentu. Cartwright dan Cartwright (1998: 46) mengemukakan beberapa pertanyaan
yang mengarahkan pada jenis keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
observasi yang dilakukan, yaitu:
·
Siapa yang merancang observasi.
·
Siapa atau apa yang akan diamati.
Pertanyaan ini berkenaan dengan pemahaman terhadap sasaran observasi, misalnya
perilaku siswa, perilaku guru dalam
mengajar, cara-cara menggunakan alat bantu pembelajaran, dan seterusnya.
·
Dimana observasi dilakukan. Hal
ini berkaitan dengan keharusan untuk memahami kondisi atau lingkungan tempat
pelaksanaan kegiatan yang ingin diobservasi.
·
Kapan waktu pelaksanaan
observasi. Hal ini mengingatkan akan pentingnya kesesuaian waktu pelaksanaan
dengan waktu pengamatan serta pemahaman tentang tahap-tahap kegiatan yang akan
diamati.
·
Bagaimana data dari kegiatan
observasi itu akan direkam. Pertanyaan ini berkenaan dengan keharusan pengamat
untuk terampil memilih dan menggunakan cara pengumpulan atau perekaman data.
e.
Balikan (Feedback)
Observasi yang dilakukan langsung oleh guru sendiri yang
melaksanakan PTK, mungkin balikan ini dapat segera dilakukan guru setelah
melaksanakan tindakan atau proses pembelajaran. Sedangkan untuk kegiatan
observasi yang dilakukan oleh pengamat, bukan langsung oleh guru sendiri yang
melaksanakan PTK, balikan hasil observasi dapat dimanfaatkan jika ada balikan
yang tepat yang disajikan dengan memperhatikan secara cermat setiap langkah
yang dilakukan. Perlu juga dipahami, bahwa observasi dilihat dari
pelaksanaannya dapat dipahami dalam beberapa bentuk. Wardani (2004)
mengemukakan beberapa bentuk observasi sebagai berikut.
1.
Observasi Terbuka
Ciri yang dapat dilihat dari bentuk observasi terbuka adalah
dimana pengamat tidak menggunakan lembar observasi, melainkan hanya menggunakan
teknik-teknik tertentu untuk merekam fenomena-fenomena yang diselidiki. Jika
ada seseorang yang melakukan pengamatan terhadap aktivitas Anda ketika mengajar
di kelas, Anda dapat perhatikan. apakah pengamat tersebut menggunakan lembar
observasi atau tidak dalam proses pencatatan yang dilakukannya. Jika tidak,
maka pengamatan yang dilakukan terhadap Anda dapat dikategorikan sebagai
observasi terbuka. Pengamat mengamati aktivitas dan kelas Anda kemudian membuat
catatan pada kertas kosong tentang jalan pelajaran yang berlangsung.
2.
Observasi Terfokus
Berbeda halnya
dengan observasi terbuka, observasi terfokus secara khusus ditujukan untuk
mengamati aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. Misalnya, mengamati kemampuan
siswa bekerjasama dalam kegiatan diskusi, kemampuan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, kemampuan melakukan gerakan-gerakan tertentu dalam
latihan tari. Fokus yang telah ditetapkan dalam kegiatan observasi menjadi
petunjuk atau memberikan arah untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan.
3.
Observasi
Terstruktur
Berbeda dengan
observasi terbuka hanya menggunakan kertas kosong sebagai alat perekam data,
observasi terstruktur menggunakan instrumen observasi yang terstruktur dan siap
pakai, sehingga pengamat hanya tinggal membubuhkan tanda (v) pada tempat yang
disediakan. Misalnya, yang direkam adalah frekuensi penguatan yang diberikan,
atau jumlah pertanyaan yang diajukan, atau jumlah siswa yang menjawab secara
sukarela, atau jumlah siswa yang mengajukan pertanyaan. Pengamat hanya tinggal
memberi tanda (v) setiap kali peristiwa itu muncul.
4.
Observasi
Sistematik
Observasi
sistematik lebih rinci dari observasi terstruktur dalam kategori data yang
diamati. Misalnya dalam pemberian penguatan, data dikategorikan menjadi
penguatan verbal dan nonverbal. Contoh lain yang sudah dikenal amat luas adalah
kategori pengamatan dari Flanders yang membagi data pengamatan menjadi tiga
kategori, yaitu pembicaraan guru, pembicaraan siswa, dan sepi atau senyap.
Jenis observasi
juga dapat dilihat dari intensitas peran observer didalam pelaksanaan
observasi. McMillan & Schumecher (2000: 41), mengemukakan ketika guru
melakukan pengumpulan data dan mendokumentasikan temuan-temuan penelitiannya
secara sungguh-sungguh, kemudian ia menjelaskan dan menyimpulkan maka ia telah
melakukan observasi partisipan. Masing-masing jenis observasi tersebut memiliki
kelemahan dan kelebihan. Anda dapat mengkajinya secara cermat. Kerlinger (1986)
mengingatkan bahwa masalah pokok dalam pengamatan perilaku adalah si pengamat
sendiri karena ia merupakan bagian dari instrumen pengukur. Dalam pengamatan
perilaku, pengamat merupakan kekuatan penentu akan tetapi juga merupakan
kelemahan penentu. Karena itu pengamat harus dapat mencerna informasi yang
didapatkan dari observasi kemudian membuat inferensi mengenai
konstruk-konstruk. Coba Anda diskusikan kembali bentuk-bentuk observasi di
atas, kemudian kaji dari sudut kemampuan Anda dan kondisi sekolah tempat Anda
mengajar untuk menemukan jenis observasi mana saja yang mungkin Anda
pergunakan.
2.
Tujuan / Sasaran
Observasi
Milss (2000),
menjelaskan bahwa observasi bertujuan mengamati aktivitas siswa, aspek-aspek
fisik dari suatu situasi tertentu sebagai sumber informasi yang dapat
memperkaya informasi-informasi yang lain. Observasi juga bertujuan untuk
mengumpulkan data yang diperlukan untuk menjawab masalah tertentu. Dalam
penelitian formal, observasi bertujuan mengumpulkan data yang valid dan
variabel (sahih dan handal). Data ini kemudian akan diolah untuk menjawab
berbagai pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis. Dalam PTK, observasi
terutama ditujukan untuk memantau proses dan dampak perbaikan yang
direncanakan. Oleh karena itu, yang menjadi sasaran observasi dalam PTK adalah
proses dan hasil atau dampak pembelajaran yang direncanakan sebagai tindakan
perbaikan. Proses dan dampak yang teramati diinterpretasikan, selanjutnya
digunakan untuk menata kembali langkah-langkah perbaikan.
3.
Prosedur Observasi
Pada dasarnya,
prosedur atau langkah-langkah observasi terdiri dari tiga tahap, yaitu:
pertemuan pendahuluan, observasi, dan diskusi balikan. Ketiga tahap ini sering
disebut sebagai siklus pengamatan, yang populer dipakai dalam supervisi klinis,
baik dalam pembimbing calon guru maupun dalam memberikan bantuan profesional
bagi guru yang sudah bertugas. Siklus ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Mari kita kaji langkah-langkah tersebut satu persatu.
a)
Pertemuan
Pendahuluan
Pertemuan
pendahuluan yang sering disebut sebagai pertemuan perencanaan dilakukan sebelum
observasi berlangsung. Tujuan pertemuan ini adalah untuk menyepakati berbagai
hal yang berkaitan dengan pelajaran yang akan diamati dan observasi yang akan
dilakukan, sebagaimana yang telah Anda kaji pada prinsip pertama observasi.
Langkah-langkah dan konteks pembelajaran, fokus observasi, kriteria observasi,
lama pengamatan, cara pengamatan, dan sebagainya dapat disepakati pada
pertemuan pendahuluan ini. Fokus observasi misalnya siswa yang memberi respon
secara sukarela, siswa yang mendapat penguatan, atau jenis pertanyaan yang
diajukan oleh guru, sedangkan contoh kriteria observasi adalah: peningkatan
sumber belajar yang dipakai siswa, peningkatan jumlah pertanyaan yang diajukan
siswa, peningkatan rasa puas pada diri siswa, dan peningkatan jumlah siswa yang
menjawab dengan benar.
b)
Pelaksanaan
Observasi
Sesuai dengan
kesepakatan pada pertemuan pendahuluan, observasi dilakukan terhadap proses dan
hasil tindakan perbaikan, yang tentu saja terfokus pada prilaku mengajar guru,
perilaku belajar siswa, dan interaksi antara guru dan siswa. Pengamat
merekam/menginterpretasikan data sesuai dengan kesepakatan dan berusaha menciptakan
suasana yang mendukung berlangsungnya proses perbaikan.
c)
Diskusi Balikan
Sesuai dengan
prinsip pemberian balikan, pertemuan balikan dilakukan segera setelah tindakan
perbaikan yang diamati berakhir. Makin cepat pertemuan ini dilakukan makin
baik, dan sebaiknya diusahakan agar pertemuan ini tidak ditunda lebih dari 24
jam. Dalam pertemuan ini, guru dan pengamat berbagi informasi yang dikumpulkan
selama pengamatan, mendiskusikan/ menginterpretasikan informasi tersebut, serta
mengambil tindakan lebih lanjut jika diperlukan. Untuk mendapatkan gambaran
yang jelas tentang siklus observasi tersebut, cobalah Anda simak contoh berikut
ini. Anda akan dapat membayangkan situasi observasi dan hubungan antara guru
dan pengamat. Agar ketiga tahap observasi ini dapat berlangsung secara efektif,
Anda perlu memperhatikan beberapa prinsip berikut, yang berkali-kali ditekankan
oleh Hopkins (1993), Pertama, hubungan antara guru dan pengamat haruslah
didasari saling percaya, sehingga pengamatan dapat berlangsung dalam iklim yang
menyenangkan dan saling membantu. Kedua, fokus kegiatan pengamatan
haruslah pada usaha perbaikan pembelajaran dan mendorong keberhasilan strategi
yang diterapkan, bukan pada kegagalan atau kritik terhadap kepribadian/perilaku
guru yang dianggap tidak sesuai. Ketiga, proses didasarkan pada
pengumpulan dan pemanfaatan data observasi, bukan pada keputusan atau
pertimbangan yang tidak terkait dengan sasaran observasi. Keempat, guru
hendaknya didorong untuk menarik kesimpulan tentang pembelajaran yang dikelolanya
dari data yang dikumpulkan dan jika perlu membuat hipotesis yang dapat diuji
pada pembelajaran yang akan datang. Keempat, setiap tahap dari tiga
tahap ini merupakan proses yang berlanjut dan yang satu selalu bertumpu pada
yang lain. Terakhir, guru dan pengamat bersamasama terlibat dalam proses
pertumbuhan profesional yang saling menguntungkan. Kemampuan mengajar dan
keterampilan mengobservasi akan meningkat dengan melaksanakan ketiga tahap
observasi secara benar.
b.
Wawancara
Untuk memperoleh
data yang diperlukan atau data pendukung PTK, selain menggunakan observasi guru
juga dapat melakukan wawancara, baik kepada siswa, rekan-rekan guru, staf
sekolah lain atau mungkin kepada orang tua siswa. Secara sederhana, wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu (Moleong, 1991). Wawancara mungkin
merupakan alat yang paling purba dan paling sering digunakan manusia untuk
memperoleh informasi (Kerlinger, 1993). Wawancara memiliki sifat-sifat penting
yang tidak dipunyai oleh tes-tes pada skala obyektif dan pengamatan behavioral.
Apabila digunakan dengan menggunakan rencana yang tersusun baik, maka wawancara
dapat menghasilkan banyak informasi yang bersifat fleksibel dan dapat
diadaptasi untuk situasi-situasi individual, serta seringkali dipergunakan
bilamana tidak ada metode lain yang dimungkinkan atau memadai. Wawancara dapat
dipergunakan untuk tiga maksud utama. Pertama, wawancara dapat
dipergunakan sebagai alat eksplorasi untuk identifikasi varibel dan relasi,
mengajukan hipotesis, dan memandu tahap-tahap lain di dalam penelitian. Kedua,
wawancara dapat menjadi instrumen utama penelitian. Dalam hal ini
pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk mengukur aspek-aspek yang diteliti
dimasukkan ke dalam panduan wawancara dalam keadaan ini, pertanyaan-pertanyaan
harus dipandang sebagai butir-butir (item soal) dalam suatu instrumen
penelitian, bukan sekedar sebagai sarana menghimpun informasi belaka. Ketiga,
wawancara itu dapat digunakan sebagai penopang atau pelengkap metode lain.
Dalam keadaan ini wawancara dapat berfungsi untuk menggali lebih mendalam
motivasi responden serta alasan-alasan responden memberikan jawaban dengan cara-cara
tertentu. Di dalam penelitian kualitatif, wawancara (interview) oleh banyak
kepustakaan dikemukakan di dalam berbagai terminologi, misalnya disebut intensive
interviewing, indepth interviewing, ataupun instructured
interviewing, yang berarti suatu percakapan yang terarah dengan tujuan
mengumpulkan atau memperkaya informasi atau bahan-bahan (data) yang mendetil
(kaya atau padat), yang hasil akhirnya untuk digunakan untuk analisis
kualitatif (Mantja, 1993; McMillan & Schumacher, 2001). Perbedaan dengan
wawancara terstruktur yang bertujuan untuk memperoleh pilihan di antara
berbagai alternatif jawaban terhadap pertanyaan yang ditampilkan dari sebuah
topik atau situasi, adalah bahwa wawancara mendalam, mendetil atau intensif
berupaya menemukan pengalaman-pengalaman informan atau responden dari topik
tertentu atau situasi spesifik yang dikaji. Dalam pandangan Lofland and Lofland
(1983), bahwa bagian terbesar dari data observasi peran serta pada dasarnya
diperoleh melalui wawancara informal dan yang disempurnakan melalui observasi.
Karena itu pengamatan peran serta dan wawancara mendalam merupakan teknik
sentral dalam penelitian kualitatif. Oleh karena itu keduanya harus dipandang
dari penekanan penggunaannya dengan memperhatikan saling keterkaitannya.
1.
Bentuk-bentuk
Wawancara
Ada beberapa bentuk
wawancara yang sering dipergunakan di dalam pengumpulan data penelitian. Patton
(1987) mengemukakan beberapa bentuk wawancara, yaitu; (a) wawancara pembicaraan
formal, (b) pendekatan dengan menggunakan petunjuk umum wawancara, dan (c)
wawancara baku terbuka.
a.
Wawancara
pembicaraan informal
Ciri khusus dari
wawancara jenis ini adalah dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
bergantung pada pewawancara itu sendiri, atau tergantung dari spontanitasnya
didalam mengajukan pertanyaan. Wawancara ini dilakukan secara alami, sehingga
hubungan antara pewawancara dan yang diwawancarai terjadi didalam suasana yang
wajar atau tidak dirancang atau dipersiapkan secara khsusus. Dalam proses
wawancara, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang disampaikan
sebagaimana layaknya pembicaraan biasa yang dilakukan dalam pembicaraan
sehari-hari. Bahkan mungkin ketika wawancara dilakukan orang yang diwawancarai
tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa dirinya sedang diwawancarai.
Meskipun situasi berlangsung secara wajar dan alami, namun pewawancara tetap
melakukan aktivitas pokok sebagai pewawacara yaitu melakukan pencatatan atau
perekaman data. Karena itu diperlukan keterampilan yang memadai dan spesifik
baik di dalam mengajukan item-item pertanyaan maupun didalam menciptakan
situasi yang wajar dan alami tersebut.
b.
Pendekatan dengan
menggunakan petunjuk umum wawancara
Jika wawancara
pembicaraan informal tidak memerlukan panduan khusus dan spesifik tentang
aspek-aspek yang ingin diwawancarai, berbeda dengan teknik pewawancara yang
kedua ini justeru mempersyaratkan agar pewawancara membuat kerangka dan garis
besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan
pokok-pokok wawancara harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh pewawancara
sebelum wawancara dilakukan. Petunjuk umum wawancara tidak harus selalu dibuat
secara rinci, akan tetapi cukup memuat garis-garis besar aspek yang ingin
ditanyakan. Petunjuk yang didasarkan pada anggapan bahwa ada jawaban yang
secara umum akan sama diberikan oleh para responden, tetapi yang jelas tidak
ada perangkat pertanyaan baku yang disiapkan terlebih dahulu. Pelaksanaan
wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden.
Karena itu urutan-urutan pertanyaan tidak bersifat kaku, termasuk bagian-bagian
mana yang terlebih dahulu ditanyakan atau diletakkan pada akhir.
c.
Wawancara baku
terbuka
Wawancara baku
terbuka adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku (Moleong,
1991: 136). Pada jenis wawancara ini, urutan pertanyaan, kata-kata yang
dipergunakan didalam daftar pertanyaan, urutan penyajian disusun sama untuk
semua responden yang diwawancarai. Tidak seperti bentuk pertama, kedua dan ketiga
sebelumnya, pada bentuk ini, pewawancara tidak terlalu memiliki keluwesan mengadakan
pertanyaanpertanyaan pendalaman. Maksud dari adanya pembatasan-pembatasan di
dalam wawancara ini adalah untuk mengurangi terjadinya “kemencengan” (biasa).
Jenis wawancara ini tepat dilakukan apabila pewawancara terdiri dari sejumlah
orang dan yang diwawancarai cukup banyak jumlahnya, sehingga hasil-hasil atau
data yang diperoleh tidak terlalu banyak perbedaan.
Khusus mengenai
pedoman wawancara (Arikunto, 1998: 231) memaparkan dua macam pedoman wawancara
:
a)
Pedoman wawancara tidak
terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan
ditanyakan. Dalam keadaan ini sangat diperlukan kreativitas atau apresiasi
pewawancara, bahkan hasil wawancara dengan jenis pedoman wawancara lebih banyak
tergantung pada pewawancara. Itulah sebabnya Kerlinger (1993), mengingatkan
bahwa satu di antara kesulitan dalam wawancara adalah pewawancaranya, karena
dia merupakan bagian dari instrumen pengukur. Wawancara tak terstruktur tepat dilakukan
pada keadaan-keadan berikut:
·
Bila pewawancara berhubungan
dengan orang-orang penting.
·
Jika pewawancara ingin menanyakan
sesuatu secara lebih mendalam lagi kepada seorang subyek tertentu.
·
Apabila pewawancara menyelenggarakan
kegiatan yang bersifat “penemuan” (discovery).
·
Jika ia tertarik untuk
mempersoalkan bagian-bagian tertentu yang tidak umum.
·
Jika ia tertarik untuk mengadakan
hubungan langsung dengan responden.
·
Apabila ia tertarik untuk mengungkapkan
motivasi, maksud, atau penjelasan dari responden.
·
Apabila ia mau mencoba mengungkapkan
pengertian suatu peristiwa, situasi, atau keadaan tertentu.
b)
Pedoman wawancara terstruktur,
yaitu pedoman wawancara yang disusun
secara rinci sehingga peluang untuk mengadakan variasi atau
improvisasi dalam pelaksanaan wawancara
menjadi sangat terbatas. Ada beberapa jenis pertanyaan dan hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam mengembangkan
pertanyaan yang lazim dipergunakan dalam wawancara :
a.
Pertanyaan deskriptif
(descriptive question), yaitu bentuk pertanyaan di mana pewawacara meminta responden untuk
mendeskripsikan sesuatu. Misalnya,
“Dapatkah Anda menceriterakan pertemuan yang baru Anda ikuti!”.
b.
Pertanyaan structural (structural
question), adalah pertanyaan yang diarahkan
untuk membantu peneliti bagaimana informan mengorganisasikan pengetahuannya. Misalnya: “Cara apa saja yang
Anda gunakan untuk menyampaikan materi
pelajaran?”.
c.
Pertanyaan pembeda atau
mempertentangkan (contras question), adalah
pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui makna sesuatu yang
dikemukakan oleh informan terhadap
berbagai terminologi di dalam bahasa penutur.
Pertanyaan jenis ini menghendaki informan membedakan obyek dan
peristiwa menurut pengalaman mereka,
sehingga peneliti memperoleh wawasan dimensi
makna yang digunakan informan untuk membedakannya. Pertanyaan ini misalnya: “Apakah perbedaan belajar anak
cacat, anak normal dan anak luar biasa .
d.
Pertanyaan bergiliran
(asymetrical turn talking), di mana informan dan pewawacara bergiliran didalam berbicara.
Dalam bentuk ini pertama pewawancara
menguraikan semua pertanyaannya terlebih dahulu, kemudian informan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut atau mengungkapkan sebagian besar pengalaman-pengalamannya.
e.
Perluasan daripada penyingkatan
(expansion rather than abbreviation), di mana
peneliti mendorong informan untuk memperluas (memperjelas) apa yang dikemukakannya untuk menghindari kurang
rincinya topik yang diperoleh. Dalam
proses wawancara ini peneliti sering mengingatkan informan agar tidak dilakukan secara singkat dan terburu-buru
untuk mempercepat waktu penelitian.
f.
Mengajukan pertanyaan bersahabat
(asking friendly question). Selama proses
wawancara antara peneliti dan informan berlangsung,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
didalam wawancara selalu diarahkan dalam rangka membangun hubungan yang akrab, saling menghargai dan
penuh kehangatan (rapport), sehingga
informan tidak lekas merasa jenuh apalagi merasa terbebani dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti.
g.
Berhenti sejenak (pausing). Dalam
kenyataan di lapangan seringkali peneliti
merasa khawatir bilamana aspek-aspek yang telah dirancang untuk
ditanyakan tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya karena terbatasnya waktu yang tersedia. Akhirnya tanpa disadari peneliti terus
mengejar informan dengan pertanyaan pertanyaan sehingga suasana wawancara
menjadi kurang kondusif. Sebaiknya
pewawancara harus berhenti beberapa saat agar suasana keakraban dan rapport
yang telah terbina terpelihara dengan baik.
2.
Melaksanakan
Wawancara
Di dalam pengumpulan data melalui wawancara, ada dua kegiatan
yang sangat mendasar dan saling terkait,
yaitu mengembangkan hubungan baik (rapport) dan
mengejar perolehan informasi. Keduanya penting dan menuntut perhatian
khusus peneliti. Dalam pengumpulan data,
jangan sampai terjadi kegiatan yang satu
mengorbankan kegiatan aspek lain.
Oleh sebab itu secara garis
besarnya ada tiga kegiatan yang
berkaitan dengan pelaksanaan wawancara, yaitu: (1) memulai wawancara,
(2) mengajukan pertanyaan pokok sekaligus perekaman data, dan (3) mengakhiri
wawancara.
1.
Memulai
wawancara
Jika Anda akan melakukan
wawancara, sebaiknya terlebih dahulu Anda
meluangkan waktu sejenak untuk mengkaji kembali pedoman atau
panduan wawancara yang telah
dipersiapkan. Kegiatan ini bertujuan agar ketika wawancara telah mulai Anda laksanakan, Anda dapat
menanyakan butir-butir pertanyaan dengan
lancar tanpa harus melihat berulang-ulang panduan tersebut, karena hal
itu dapat mengganggu kelancaran
wawancara yang Anda lakukan
Hal lain yang perlu Anda perhatikan kembali adalah kesiapan alat-alat yang
akan dipergunakan didalam mendukung
kelancaran wawancara, seperti buku catatan, alat- alat tulis, alat perekam data
lainnya jika hal itu diperlukan.
Ketika mengawali wawancara, hal penting yang Anda lakukan
adalah membina hubungan baik, saling
menghargai dan saling percaya, sebagaimana sekilas telah kita bahas sebelumnya.
Rapport tidak harus diartikan sebagai hubungan yang sangat rapat. Baik peneliti maupun informan adalah
partisipan penelitian yang harus memiliki rasa saling percaya yang besar agar
terjadi arus informasi yang lebih lancar dalam proses pengumpulan data. Pada
tahap awal wawancara ini Anda dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
mendorong terciptanya keakraban, keterbukaan dan suasana yang tidak formal.
Jika hal ini telah Anda lakukan, kemudian Anda melihat bahwa suasana telah
mendukung untuk dimulainya wawancara, Anda dapat memulainya dari
pertanyaan-pertanyaan yang sederhana.
2.
Mengajukan
pertanyaan
` Dalam
kaitan dengan butir pertanyaan yang diajukan, Kerlinger (1993):
a.
Apakah pertanyaan yang akan Anda
ajukan berkaitan dengan masalah penelitian dan sasaran-sasaran penelitian? Selain
pertanyaan-pertanyaan yang diajukandiarahkan untuk memperoleh informasi
faktual, semua butir di dalam panduan wawancara Anda harus mempunyai fungsi
tertentu dalam masalah penelitiannya. Hal ini juga berarti bahwa semua butir
pertanyaan yang terdapat di dalam panduan wawancara Anda adalah untuk menggali
informasi yang dapat dipergunakan untuk menjawab masalah penelitian dan atau
menguji hipotesis.
b.
Tepatkah tipe pertanyaan yang
akan Anda ajukan? Jika Anda menggunakan
bentuk-bentuk pertanyaan terbuka, mungkin Anda akan mendapatkan informasi
tentang sikap, perilaku, atau tentang pandangan informan Anda tentang sesuatu
secara lebih rinci.
c.
Apakah butir pertanyaan jelas dan
tidak mengundang penafsiran ganda? Suatu
pertanyaan atau butir pertanyaan yang ambigu atau ganda adalah butir pertanyaan
yang tidak mengundang penafsiran yang berlainan serta jawaban yang berbeda-beda
dari penafsiran yang majemuk tersebut.
d.
Apakah butir pertanyaan yang Anda
rumuskan menggiring informan untuk memberikan alternatif jawaban tertentu? Pertanyaan-pertanyaan yang
sengaja menggiring informan untuk memberikan jawaban tertentu yang Anda inginkan,
hal itu merupakan ancaman terhadap validitas wawancara Anda. Contoh: “Apakah
Anda telah membaca catatan-catatan yang saya tulis?” Atau “Apakah Anda telah
menyusun langkah-langkah kegiatan sesuai dengan prosedur yang sudah kita bahas?” Mungkin Anda akan
mendapatkan sebagian besar informan Anda
menjawab “Ya” yang kemungkinan besar tidak proporsional, karena pertanyaan tersebut menyiratkan tidak baik
jika informan belum membaca catatan yang
ia buat seperti contoh pertanyaan pertama, atau tidak menyusun langkah-langkah kegiatan sesuai prosedur yang
telah dibahas bersama seperti pada contoh pertanyaan kedua.
e.
Apakah pertanyaan yang Anda susun
menuntut pengetahuan dan informasi yang
tidak dimiliki oleh responden? Untuk menjaga agar tidak ada butir
pertanyaan yang tidak valid, karena
kurangnya pengetahuan informan tentang masalah yang ditanyakan, maka akan lebih baik bilamana
pewawancara menggunakan
pertanyaan-pertanyaan saringan. Misalnya ketika informan bermaksud menanyakan pendapat informan tentang
Peraturan Pemerintah berkenaan dengan
Standar Nasional Pendidikan, akan lebih baik jika diajukan pertanyaan
apakah informan mengetahui tentang
peraturan pemerintah dimaksud. Ada kemungkinan
pewawancara menjelaskan terlebih dahulu secara singkat tentang hal
yang ditanyakan tersebut, baru kemudian
menanyakan pendapat responden?
f.
Apakah pertanyaan yang Anda susun
menuntut hal-hal yang bersifat pribadi dan
peka sehingga informan Anda menolak menjawabnya? Jika pertanyaan menyentuh hal-hal tersebut, maka Anda harus
lebih selektif dan berhati-hati.
Pertanyaan-pertanyaan tentang penghasilan atau hal-hal lain yang
bersifat pribadi hendaknya diletakkan
pada bagian belakang dalam wawancara, yaitu setelah tercapainya hubungan baik dan keakraban
(rapport) antara pewawancara dan informan.
g.
Apakah pertanyaan yang Anda
ajukan menyiratkan hal-hal yang dianggap baik
atau buruk oleh masyarakat? Pada umumnya orang-orang cenderung memberikan jawaban sesuai dengan yang dipandang
baik oleh umum, jawaban- jawaban yang menunjukkan atau menyiratkan kesetujuan
pada tindakan-tindakan atau ikhwal yang
dipandang baik. Misalnya kita menanyakan kepada seseorang mengenai perasaannya
terhadap anak-anak terlantar. Setiap orang diharapkan memiliki simpati terhadap anak-anak
terlantar. Jika kita tidak berhati-hati kita
hanya akan mendapatkan jawaban stereotip atau klise tentang perasaannya
terhadap anak-anak terlantar tersebut.
3.
Menutup wawancara
Jika wawancara telah selesai Anda lakukan, Anda harus
menahan diri beberapa saat untuk tidak
meninggalkan informan. Hubungan akrab, saling percaya yang telah Anda bina sejak awal dilakukan
wawancara, hendaknya dapat Anda pertahankan sampai wawancara benar-benar
berakhir. Informan Anda harus merasakan
kepuasan yang Anda rasakan. Jika Anda merasa ada bagian-bagian tertentu dari pertanyaan Anda belum dijawab
secara tuntas, tidak selayaknya Anda
menunjukkan sikap ketidakpuasan Anda dihadapan informan, karena bilamana
Anda telah membina hubungan baik, Anda dapat meminta kesediaan informan
untuk memberikan informasi melalui
wawancara selanjutnya. Ucapkan terima kasih dengan sikap tulus dan hangat bilamana informasi
yang diberikan informan Anda telah
dirasa cukup. Kemukakan secara terbuka bahwa informasi yang
disampaikannya benar-benar bermakna bagi
penelitian yang Anda lakukan.
2.TINDAKAN
Pada saat guru
melakukan tindakan ini, guru harus benar-benar memahami terlebih dahulu
karakter siswa sehingga jangan sampai siswa menjadi objek tindakan, namun guru
harus mengambil peran pemberdayaan siswa sehingga siswa menjadi agen perubahan
bagi dirinya dan kelas.
Tindakan-tindakan
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1.Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan ini guru
memberikan apersepsi pembelajaran. Tujuan apersepsi adalah untuk mengkondisikan
siswa agar siap menerima pelajaran dengan baik.
2.Kegiatan inti
Pada kegiatan inti ini, guru
menyampaikan materi. Melalui kegiatan ini , siswa dilatih untuk menyimpulkan
permasalahan yang ditemukan dibantu oleh guru.
3.Penutup
Melalui kegiatan ini dapat
diketahui kesulitan-kesulitan yang siswa hadapi. Guru selalu memberikan
dorongan dan motivasi pada siswa untuk terus belajar.
4.Pengamatan
Yang dimaksud pengamatan adalah
proses pengambilan data dari pelaksanaan tindakan atau kegiatan pengamatan
(pengambilan data) untuk memotret sejauh mana efek tindakan telah mencapai
sasaran.
3. REFLEKSI
Refleksi adalah kegiatan mengulas
secara kritis (reflective) tentang
perubahan yang terjadi pada: siswa, guru, dan suasana kelas. Pada tahap ini,
guru sebagai peneliti menjawab pertanyaan mengapa (why), bagaimana (how),
dan sejauh mana (to what extent)
intervensi ini telah menghasilkan perubahan secara signifikan. Kolaborasi
dengan rekan (termasuk para ahli) akan memainkan peran sentral dalam memutuskan
judging the value (seberapa jauh action telah membawa perubahan: apa/dimana
perubahan terjadi, mengapa demikian, apa kelebihan/kekurangan, langkah-langkah
penyempurnaan, dsb.) Mc Taggart (dalam Connle, 1993) menggarisbawahi bahwa
salah satu kriteria action research adalah:
... partisipatory
action research is concerned simultaneously with changing individuals, on the
on hand, and the other culture of the groups, institutions, and societies to
which the belongs ...
Pada akhir setiap siklus Anda
perlu merefleksi secara kritis mengenai hal-hal yang sudah Anda lakukan.
Seberapa efektifkah perubahan tersebut? Apa yang Anda pelajari? Hal-hal apa
yang menjadi penghalang perubahan? Bagaimana Anda memperbaiki
perubahan-perubahan yang akan Anda buat? Jawaban atas dua pertanyaan tersebut
akan membawa Anda pada putaran tindakan selanjutnya.
Untuk itulah, disarankan guru
sebagai peneliti untuk selalu menulis learing logs (catatan refleksi-kritis
tentang fenomena kelas setiap hari). Dari catatan-catatan itulah, peneliti akan
responsif terhadap perubahan yang berkembang di kelas. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada diri siswa dipotret (disajikan sebagai bukti), misalnya: hasil
pemantauan keterampilan menceritakan pengalaman pribadi, portofolio
(catatan-catatan hasil tentang hasil/prestasi siswa), perubahan sikap percaya
diri antusiasme, responsif, keinginan tahu. Demikian pula perubahan-perubahan
yang terjadi pada guru sebagai peneliti, seperti: peningkatan pengetahuan
tentang pengelolaan kelas, kepercayaan diri, kepuasan diri setelah mengajar.
Suasana perubahan pada atmosfir kelas juga disajikan, seperti: suasana kelas
yang mendorong pembelajaran, penampilan kelas yang menyajikan tayangan hasil
anak-anak, suasana kelas yang lebih akrab, dsb.
Apa yang tejadi pada suatu
siklus, apabila peneliti belum merasa puas? Alternatif pertama adalah guru
(peneliti) dapat menyempurnakan intervensi sehingga pada siklus berikutnya
dikembangkan dan dilakukan
perubahan-perubahan berdasarkan saran siswa ataupun berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan oleh peneliti. Yang jelas, setiap siklus harus ada
upaya untuk ke arah perbaikan dalam hal proses sehingga menghasilkan
pembelajaran yang berkualitas. Yang penting bahwa action research berorientasi pada improvement yang sering kali jalannya berkelok-kelok.
Refleksi disini meliputi
kegiatan: analisis. Sistesis, penafsiran (penginterpretasian), menjelaskan, dan
menyimpulkan. Hasil dari refleksi adalah diadakannya revisi terhadap
perencanaan yang telah dilaksanakan, yang akan dipergunakan untuk memperbaiki
kinerja guru (peneliti) pada pertemuan selanjutnya. Dengan demikian penelitian
tindakan tidak dapat dilaksanakan dalam sekali pertemuan karena hasil refleksi
membutuhkan waktu untuk melakukannya
sebagai planning untuk siklus
selanjutnya.
Contoh refleksi yang dikutip dari
karya Noeng Muhadjir
(1996). Seorang guru SD merasakan bahwa interaksi yang terjadi di dalam kelas
lebih didominasi guru. Ia ingin mengubah kondisi ini dengan cara mencermati
rancangan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukannya. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan partisipasi siswa dengan menambah alat peraga dan dialog. Dari
hasil pengkajian terhadap tindakan yang telah dilakukan, ternyata partisipasi
yang lemah belum Nampak. Guru merancang lagi kegiatan pembelajaran berikutnya
dengan memasukan kegiatan memberikan motivasi dan pujian kepada siswa yang
lemah. Hasilnya cukup mengembirakan. Anak yang lemah menjadi semakin aktif
dalam proses pembelajaran. Dari kegiatan observasi diketahui diketahui bahwa
pemberian motivasi dan pujian kepada siswa yang lemah menimbulkan masalah
baru.Anak yang cerdas menjadi bosan karena guru banyak meladeni siswa yang
lemah sehingga pelajaran berjalan dengan sangat lamban.Hal ini mendorong guru
untuk melakukan refleksi untuk menganalisis dan mengevaluasi tindakan yang
telah diambil. Akhirnya ia sampai kepada kesimpulan bahwa proses pembelajaran
berikutnya harus diupayakan untuk melibatkan siswa yang cerdas. Tindakan yang
ditempuh adalah meminta siswa yang cerdas membantu siswa yang lemah melalui
kegiatan kerja kelompok. Dalam proses pembelajaran ada anak yang cerdas cukup
antusias membantu teman-temannya yang lemah, tetapi ada pula anak yang cerdas
lainnya tidak nampak antusias. Ternyata terdapat lagi permasalahan.Anak cerdas
yang antusias ternyata ada yang sabar, ada yang otoriter dan ada lagi yang
bersifat egois. Ia kerjakan kelompoknya seorang diri tanpa mengikutsertakan
temannya yang lain. Sementara itu, satu anak cerdas yang tidak antusias
terlihat malas dan tidak mau membantu teman-temannya. Pada kesempatan pembelajaran
berikutnya. Guru menyisipkan penjelasan tentang pentingnya solidaritas antar
warga masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk kerja sama dan saling membantu.
Yang pandai dimisalkan sebagai mata air yang diambil terus menerus tidak habis,
melainkan mata air tersebut menjadi semakin besar dan semakin jernih. Anak yang
pandai jika mau membantu yang lemah menyebabkan ia menjadi semakin cermat dan
mantap pemahamannya terhadap materi yang dipelajari sehingga dia justru akan
semakin pandai. Ketika kerja kelompok diadakan lagi, anak yang cerdas di kelas
terbeut telah berubah sehingga kerja kelompok menjadi hidup dan berubah menjadi
kompetensi antar kelompok.
terimakasih sudah membantu, dan menambah pengetahuan saya,
BalasHapuskunjungi website kita yuk, http://www.atmaluhur.ac.id