BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Anak – anak belajar berkomunikasi dengan orang lain
lewat berbagai cara. Meskipun cara anak yang satu dengan yang lain berbeda, ada
hal – hal yang umum terjadi pada hampir setiap anak. Pengetahuan tentang
hakikat perkembangan bahasa anak, perkembangan bahasa lisan dan tulis yang
terjadi pada mereka, dan perbedaan individual dalam pemerolehan bahasa sangat
penting bagi pelaksanaan pembelajaran bahasa anak, khususnya pada waktu mereka
belajar membaca dan menulis permulaan. Itulah sebabnya calon guru sekolah dasar
perlu menguasai berbagai konsep yang terkait dengan perkembangan dan
pemerolehan bahasa anak.
B.
Rumusan Masalah
Apakah
hakikat pemerolehan bahasa anak?
Apa saja ragam pemerolehan bahsa anak?
Bagaimana strategi pemerolehan bahasa anak?
Apakah hakikat perkembangan bahasa anak?
Apa saja tahap – tahap perkembangan bahasa
anak?
C.
Tujuan
Menjelaskan hakikat pemerolehan bahsa anak.
Ragam pemerolehan bahasa anak.
Strategi pemerolehan bahasa anak.
Menjelaskan hakikat perkembangan bahasa
anak.
Menjelaskan tahap-tahap perkembangan bahsa
anak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan
bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan untuk menghasilkan
tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang lain. Jika
dikaitkan denga hal itu, maka yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah
proses pemilikan kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman atau pun
pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal (Tarigan
dkk., 1998). Selain pendapat tersebut, Kiparsky dalam Tarigan (1988) mengatakan
bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang digunakan oleh anak-anak
untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat
memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa
bersangkutan. Proses pemerolehan adalah proses bawah sadar. Bahasa tidak disadari dan tidak
dipengaruhi oleh pengajaran yangsecara eksplisit tentang sistem kaidah yang ada
di dalam bahasa kedua. Berbeda dengan proses pembelajaran, adalah proses yang
dilakukan secara sengaja atau secara sadar dilakukan oleh pembelajar di dalam
menguasai bahasa.
Adapun
karakteristik pemerolehan bahasa menurut Tarigan dkk. (1998) adalah:
1.
berlangsung dalam situasi informal,
anak-anak belajar bahasa tanpa beban, dan di luar sekolah;
2.
pemilikan bahasa tidak
melalui pembelajaran formal di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah atau
kursus;
3.
dilakukan tanpa sadar atau
secara spontan; dan
4.
dialami langsung oleh anak
dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna bagi anak.
Posisi
bahasa Indonesia dalam pemerolehan bahasa bagi anak Indonesia akan ditemukan
bahwa ada anak yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan ada
pula menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Anak yang menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, bahasa pertama yang dikenal dan
dikuasai adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang pertama-tama
dijadikan sebagai sarana komunikasi verbal sejak dia bayi. Anak yang bahasa
pertamanya bahasa Indonesia banyak dijumpai sekarang ini, terutama pada
keluarga yang tinggal di kota. Penyebabnya sebagai berikut :
1.
Perkawinan antarpenutur
bahasa yang berbeda. Masing-masing pihak tidak saling memahami bahasa daerah pasangannya.
2.
Perkawinan antar penutur bahasa daerah yang sama dengan
situasi berikut ini :
·
Lingkungan sosial sekitar
keluarga menggunakan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi.
·
Lingkungan masyarakat
sekitar menggunkan bahasa daerah yang tidak dikuasai oleh keluaga itu.
·
Lingkungan menggunkan
bahasa daerah yang sama dengan bahasa keluarga itu, tetapi karena pertimbangan praktis, bahasa yang
digunakan dalam keluarga itu bahasa Indonesia (Tarigan dkk., 1998).
Selanjutnya
Tarigan dkk. (1998) mengungkapkan bahwa anak-anak yang dilahirkan dan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang menggunkan bahasa
daerah sebagai media komunikasi kesehariannya, kemungkinan besar anak itu
bahasa pertamanya adalah bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya.
Sekalipun anak itu telah mengenal bahasa Indonesia melalui berbagai media
(misalanya radio dan televisi), tetapi bahasa Indonesia yang dikuasainya baru
benar-benar digunakan ketika telah bersekolah.
B.
Ragam Pemerolehan Bahasa Anak
Ragam
atau jenis pemerolehan bahasa anak menurut Tarigan (1988) dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandangan, antara lain:
1.
berdasarkan bentuk,
2.
berdasarkan urutan,
3.
berdasarkan jumlah,
4.
berdasarkan media,
5.
berdasarkan keaslian.
Ditinjau
dari segi bentuk, dikenal ragam :
1.
pemerolehan bahasa pertama,
2.
pemerolehan bahasa kedua,
3.
pemerolehan-ulang.
Ditinjau
dari segi urutan, dikenal ragam :
1.
pemerolehan bahasa pertama,
2.
pemerolehan bahasa kedua
Ditinjau
dari segi jumlah, dikenal ragam :
1.
pemerolehan satu bahasa,
2.
pemerolehan dua bahasa.
Ditinjau
dari segi media, dikenal ragam :
1.
pemerolehan bahasa lisan,
2.
pemerolehan bahasa tulis.
Ditinjau
dari segi keaslian atau keasingan, dikenal ragam :
1.
pemerolehan bahasa asli,
2.
pemerolehan bahasa asing.
Apabila
ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan, pada dasarnya pemerolehan dua
bahasa oleh seorang anak dapat terjadi dalam dua cara, yaitu :
1.
pemerolehan bahasa secara
serentak, dan
2.
pemerolehan bahasa secara
berurut.
Pemerolehan
serempak dua bahasa terjadi pada anak yang dibesarkan dalam masyarakat
bilingual (menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi) atau dalam masyarakat
multilingual (menggunakan lebih dari dua bahasa). Anak mengenal, mempelajari,
dan menguasai kedua bahasa secara bersamaan. Sedangkan pemerolehan berurut dua
bahasa terjadi bila anak menguasai dua bahasa dalam rentang waktu yang relatif berjauhan
(Tarigan, 1988 dan Tarigan,
dkk.,
1998).
C.
Strategi Pemerolehan Bahasa Anak
Landasan
atau dasar kognitif pemerolehan bahasa sangat mudah sekali terlihat dalam tiga hal, yaitu:
1.
perkembangan semantik sang
anak,
2.
perkembangan sintaksis
permulaan, dan
3.
penggunaan aktif sang anak
akan sejenis siasat belajar.
Anak-anak
pada umumnya cenderung lebih cepat belajar dan menguasai suatu bahasa, terutama
bahasa ibunya. Sejak lahir seorang bayi sudah memperoduksi bunyi yaitu mengeram
atau menangis. Bunyi-bunyi itu menggambarkan suasana kebutuhan dalam upaya
merespon terhadap lingkungan internal dan eksternalnya. Sejalan dengan
pertumbuhan usia bayi tersebut, maka bunyi-bunyi yang diproduksinya itu mulai
ada kecenderungan mempunyai kemiripan dengan bahasa (kata-kata) orang dewasa,
misalanya “mama”. Kata “ma-ma” (biasa diistilahkan dalam kajian
bahasa sebagai “babling”) yang dituturkan oleh si bayi, diprediksikan
sebagai langkah awal dari perkembangan fonologi anak untuk pemerolehan bahasa.
Para behavioris berpandangan
bahwa setiap orang terdorong (apakah dorongan positif atau negatif) untuk
melakukan sesuatu. Bahasa itu merupakan ciri dan milik manusia, merupakan
pembeda dari makhluk ciptaan lainnya. Bahasa itu bertemali dengan beraneka
sistem pada akal manusia dan sekaligus dibentuk oleh sistem yang ada itu.
Anak
memperoleh kemampuan berbahasa lisan melalui peniruan dan pengalaman
langsung. Apakah hanya itu? Menurut Tarigan
dkk. (1998), selain meniru dan mengalami
langsung, anak memperoleh kemampuan
berbahasa dengan cara mengingat, bermain, dan penyederhanaan. Mengingat,
memainkan peranan penting dalam belajar bahasa anak atau belajar apapun.
Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, direkam dalam benaknya. Pada tahap
awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang kombinasi
bunyi-bunyi tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesuatu yang dia alami.
Ingatan ini akan semakin kuat, terutama bila penyebutan akan benda atau peristiwa
tertentu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini, anak akan mengingat kata-kata
tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara mengucapnya.
Kegiatan
bermain pun memegang peran penting dalam pemerolehan bahasa anak. Dalam kegiatan
bermain, anak-anak sering dan senang bermain peran yaitu memerankan perilaku
orang dewasa atau perilaku orang lain di sekelilingnya. Tampa mereka sadari,
dalam kegiatan bermain tersebut mereka berlatih berbicara dan menyimak.
Selanjutnya, cara belajar dengan penyederhanaan, maksudnya adalah ketika
berbicara anak-anak pada awalnya cenderung menyederhanakan model tuturan orang
dewasa. Ada beberapa fonem dan bahkan kata yang dihilangkan pada saat bertutur.
Walaupun dalam bertutur, anak-anak hanya menggunakan satu kata tetapi memiliki
cakupan makna yang luas (Tarigan dkk., 1998).
Ada
dua persyaratan dasar yang memungkinkan anak dapat memperoleh kemampuan
berbahasa, yaitu potensi faktor biologis yang dimiliki sang anak, serta
dukungan sosial yang diperolehnya. Selain itu, ada beberapa faktor penunjang
yang merupakan penjabaran dari kedua hal di atas yang dapat mempengaruhi
tingkat kemampuan bahasa yang diperoleh anak.
Faktor-faktor
yang dimaksud adalah seperti berikut:
1.
faktor biologis;
2.
faktor lingkungan sosial;
3.
faktor intelegensi; dan
4.
faktor motivasi (Tarigan
dkk., 1998)
Selain
pendapat di atas, Ellies dkk. (1989) mengemukakan bahwa anak belajar berbicara
sesuai dengan kebutuhannya. Sekiranya ia dapat memperoleh apa yang
diinginkannya tampa bersusah payah untuk memintanya, maka ia tidak merasa perlu
untuk berusaha belajar berbahasa. Jadi pada mulanya motif anak belajar bahasa
ialah agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, keinginan-keinginannya, dan
menguasai lingkungannya sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Dengan
demikian, kebutuhan utama anak-anak sehingga belajar berbahasa adalah :
1.
keinginan untuk memperoleh
informasi tentang lingkungannya, kemudian
mengenai dirinya sendiri dan kawan-kawannya;
2.
memberi perintah dan
menyatakan kemauan;
3.
pergaulan sosial dengan
orang lain; dan
4.
menyatakan pendapat dan
ide-idenya.
D.
Perkembangan BAHASA ANAK
Hakikat
Perkembangan Bahasa Anak
Darjowidjojo
(Tarigan dkk., 1998) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa anak itu tidaklah
tiba-tiba atau sekaligus, tetapi bertahap. Kemajuan kemampuan berbahasa mereka
berjalan seiring dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosialnya.
Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak ditandai oleh keseimbangan dinamis
atau suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana
menuju tuturan yang lebih kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan yang
sederhana tak bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan yang mefasilitasi
alur perkembangan bahasa anak menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna.
Tahap-tahap
Perkembangan Bahasa Anak
Sudah
diuraikan sebelumnya bahwa kemampuan berbahasa anak-anak tidaklah diperoleh
secara tiba-tiba atau sekaligus, tetapi berkembang secara bertahap. Tahapan
perkembangan bahasa anak dapat dibagi atas: (1) tahap pralingustik, (2) tahap
satu-kata, (3) tahap dua-kata, dan (4) tahap banyak-kata.
1.
Tahap Pralingustik (0 – 12 bulan)
Sebelum
mampu mengucapkan suatu kata, bayi mulai memperoleh bahasa ketika berumur
kurang dari satu tahun. Namun pada tahap ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan
anak belumlah bermakna. Bunyi-bunyi itu berupa vokal atau konsonan tertentu
tetapi tidak mengacu pada kata atau makna tertentu. Untuk itulah sehingga
perkembangan bahasa anak pada masa ini disebut tahap pralinguistik (Tarigan,
1988; Tarigan dkk., 1998; Ellies dkk.,1989). Bahkan pada awalnya, bayi hanya
mampu mengeluarkan suara yaitu tangisan. Pada umumnya orang mengatakan bahwa
bila bayi yang baru lahir menangis, menandakan bahwa bayi tersebut merasa
lapar, takut, atau bosan. Sebenarnya tidak hanya itu saja terjadi. Para
peneliti perkembangan mengatakan bahwa lingkungan memberikan mereka halangan
tentang apa yang dirasakan oleh bayi, bahkan tangisan itu sudah mempunyai nilai
komunikatif.
2.
Tahap Satu-Kata (12 – 18 bulan)
Pada
masa ini, anak sudah mulai belajar menggunakan satu kata yang memiliki arti
yang mewakili keseluruhan idenya. Satu-kata mewakili satu atau bahkan lebih
frase atau kalimat.
Contoh:
Ujaran anak Maksud
·
“Juju!” (sambil
memegang baju) : mau memakai baju atau
ini baju saya
·
“Gi!” (sambil menunjuk keluar) : mau
pergi atau keluar
·
“Bum-bum” (sambil menunjuk motor) : itu
motor atau saya mau naik motor
Kata-kata
pertama yang lazim diucapkan berhubungan dengan objek-objek nyata atau
perbuatan. Kata-kata yang sering diucapkan orang tua sewaktu mengajak bayinya
berbicara berpotensi lebih besar menjadi kata pertama yang diucapkan si bayi.
Selain itu, kata tersebut mudah bagi dia. Misalnya kata “papa” itu kan
konsonan bilabial yang mudah diucapkan. Selain itu, kata-kata tersebut
mengandung fonem “a” yang secara artikulasi juga mudah diucapkan (tinggal
membuka mulut saja). Memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini
tidaklah mudah. Untuk menafsirkan maksud tuturan anak harus diperhatikan
aktivitas anak itu dan unsur-unsur non-linguistik lainnya seperti gerak
isyarat, ekspresi, dan benda yang ditunjuk si anak. Mengapa begitu? Menurut
Tarigan dkk, (1998).
Ada
dua penyebab, yaitu sebagai berikut; Pertama, bahasa anak masih
terbatas sehingga belum memungkinkan mengekspresikan ide atau perasaannya
secara lengkap. Keterbatasan berbahasanya diganti dengan ekspresi muka, gerak
tubuh, atau unsur-unsur nonverbal lainnya.
Kedua,
apa yang diucapkan anak adalah sesuatu yang paling menarik perhatiannya saja.
Sehingga, tampa mengerti konteks ucapan anak, kita akan kesulitan untuk
memahami maksud tuturannya. Walaupun memahami makna kata yang diucapkan anak
pada masa ini tidaklah mudah, tetapi komunikasi aktif dengan si anak sangat
penting dilakukan. Untuk dapat berbicara, anak perlu mengetahui perbendaharaan
kata yang akan disimpan di otaknya dan ini bisa didapat ketika orang tua
mengajak bicara. Kalau anak jaran diajak berbicara, kata-kata yang dia dapat
sangat minim sehingga penguasaan kosa kata anak juga sangat minim. Selain itu,
yang perlu diperhatikan dalam menghadapi anak yang memasuki usia ini adalah “jangan
memakai bahasa bayi untuk anak-anak, melainkan dengan orang dewasa.” Maksudnya,
ucapkanlah dengan bahasa yang seharusnya didengar sehingga si anak juga terpacu
untuk berkomunikasi dengan baik.
3.
Tahap dua-kata (18 – 24 bulan)
Pada
masa ini, kebanyakan anak sudah mulai mencapai tahap kombinasi dua kata.
Kata-kata yang diucapkan ketika masih tahap satu kata dikombinasikan dalam
ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan, atau bentuk-bentuk lain
yang sseharusnya digunakan. Anak mulai dapat
mengucapkan
“Ma, pelgi”, maksudnya “Mama, saya mau pergi”. Pada tahap dua
kata ini anak mulai mengenal berbagai makna kata tetapi belum dapat menggunakan
bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya
peristiwa. Selain itu, anak belum dapat menggunkan pronomina saya, aku, kamu,
dia, mereka, dan sebaginya.
Tahap banyak-kata (3 – 5 tahun)
Pada
saat anak mencapai usia 3 tahun, anak semakin kaya dengan perbendaharaan
kosakata. Mereka sudah mulai mampu membuat kalimat pertanyaan, penyataan
negatif, kalimat majemuk, dan berbagai bentuk kalimat. Terkait dengan itu,
Tompkins dan Hoskisson dalam Tarigan dkk. (1998) menyatakan bahwa pada usia 3 –
4 tahun, tuturan anak mulai lebih panjang dan tata bahasanya lebih teratur. Dia
tidak lagi menggunakan hanya dua kata, tetapi tiga atau lebih. Pada umur 5 – 6
tahun, bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian besar aturan
gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin
bervariasi. Anak telah mampu menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk
berbagai keperluan, termasuk bercanda
atau menghibur. Selanjutnya, tidak berbeda jauh dengan tahapan perkembangan
bahasa anak seperti yang telah diurakan,
Piaget (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) membagi tahap perkembangan bahasa
sebagai berikut :
(a) Tahap meraban (pralinguistik) pertama pada usia 0,0 – 0,5
(b) Tahap meraban (pralinguistik) kedua: kata nonsens, pada usia 0,5
– 1,0.
(c) Tahap linguistik I: holofrastik, kalimat satu kata, pada usia
1,0 – 2,0.
(d) Tahap linguistik II: kalimat dua kata, pada usia 2,0 – 3,0.
(e) Tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa, pada usia 3,0 –
4,0.
(f) Tahap linguistik IV: tata bahasa pradewasa, pada usia 4,0 – 5,0.
(g) Tahap lingistik V: kompetensi penuh, pada usia 5,0.
Seiring
dengan perkembangan bahasa sebagaimana yang telah diuraikan, berkembang pula
penguasaan anak-anak atas sistem bahasa yang dipelajarinya. Sistem bahasa itu
terdiri atas subsistem, yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan
pragmatik.
Perkembangan
Fonologis
Sebelum masuk SD, anak
telah menguasai sejumlah fonem/bunyi bahasa, tetapi masih ada beberapa fonem
yang masih sulit diucapkan dengan tepat. Menurut Woolfolk (1990) sekitar 10 %
anak umur 8 tahun masih mempunyai masalah dengan bunyi s, z, v. Hasil
penelitian Budiasih dan Zuhdi (1997) menunjukkan bahwa anak kelas dua dan tiga
melakukan kesalahan pengucapan f, sy,
dan ks diucapkan p, s, k. Terkait dengan itu, Tompkins (1995) juga
menyatakan bahwa ada sejumlah bunyi bahasa yang belum diperoleh anak sampai
menginjak usia kelas awal SD, khususnya bunyi tengah dan akhir, misalnya v,
zh, sh,ch. Bahkan pada umur 7 atau 8 tahun anak masih membuat bunyi
pengganti pada bunyi konsonan kluster. Kaitannya dengan anak SD di Indonesia
diduga pun mengalami kesulitan dalam pengucapan r, z, v, f, kh, sh, sy, x, dan
bunyi kluster misalnya str, pr, pada kata struktur dan pragmatik.
Di samping itu, anak SD bahkan orang
dewasa kadangkala ada
yang kesulitan mengucapkan bunyi kluster pada kata : kompleks, administrasi diucapkan
komplek dan adminitrasi. Agar hal itu tidak terjadi, sejak di SD
anak perlu dilatih mengucapkan kata-kata tersebut.
Perkembangan
Morfologis
Afiksasi bahasa
Indonesia merupakan salah aspek morfologi yang kompleks. Hal ini terjadi karena
satu kata dapat berubah makna karena proses afiksasinya (prefiks,
sufiks, simulfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat berubah
menjadi: bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan, persatuan,
kesa-tuan, kebersatuan, mempersatukan, dst. Zuhdi dan Budiasih (1997)
menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula-mula bersifat hapalan. Hal
ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar tentang bentuk dan
makna morfem. Akhirnya anak membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai
pada priode prasekolah dan terus
berlangsung sampai pada masa adolesen. Berdasarkan kerumitan afiksasi tersebut,
perkembangan morfologis atau kemampuan menggunakan morfem/afiks anak SD dapat
diduga sebagai berikut:
(a)
Anak kelas awal SD
telah dapat mengunakan kata berprefiks dan bersufiks seperti melempar dan
makanan.
(b)
Anak kelas menengah SD
telah dapat mengunakan kata berimbuhan simulfiks/konfiks sederhana seperti menjauhi,
disatukan.
(c)
Anak kelas atas SD telah
dapat menggunakan kata berimbuhan konfiks yang sudah kompleks misalnya diperdengarkan
dan memberlakukan dalam bahasa lisan atau tulisan.
Perkembangan
Sintaksis
Brown dan Harlon (dalam
Nurhadi dan Roekhan, 1990) berkesimpulan bahwa kalimat awal anak adalah kalimat
sederhana, aktif, afirmatif, dan berorientasi berita. Setelah itu, anak baru
menguasai kalimat tanya, dan ingkar. Berikutnya kalimat anak mulai diwarnai
dengan kalimat elips, baik pada kalimat berita, tanya, maupun ingkar. Sedangkan
menurut hasil pengamatan Brown dan Bellugi terhadap percakapan anak, memberi
kesimpulan bahwa ada tiga macam cara
yang biasa ditempuh dalam mengembangkan kalimat, yaitu: pengembangan,
pengurangan, dan peniruan. Kedua peneliti ini sepakat bahwa peniruan
merupakan cara pertama yang ditempuh anak, meskipun peniruan yang dilakukan
terbatas pada prinsip kalimat yang paling pokok yaitu urutan kata. Cara yang
kedua yang ditempuh anak untuk mengembangkan kalimat mereka adalah pengulangan
dan pengembangan. Anak mengulang bagian kalimat yang memperoleh tekanan yaitu
bagian kalimat kontentif, atau bagian kalimat yang berisi pesan pokok,
sedangkan bagian lain dihilangkan secara sistematis. Karena itu, bahasa anak
disebut dengan istilah tuturan telegrafis, karena mengandung pengurangan bagian
kalimat secara sistematis. Dilihat dari segi frase, menurut Budiasih dan Zuchdi
(1997) bahwa frase verba lebih sulit dikuasai oleh anak SD dibanding dengan
frase nomina dan frase lainnya. Kesulitan ini mungkin berkaitan dengan
perbedaan bentuk kata kerja yang menyatakan arti berbeda. Misalnya ditulis,
menuliskan, ditulisi, dan seterusnya.
Dari segi pola kalimat
lengkap, anak kelas awal cenderung menggunakan struktur sederhana bila
berbicara. Mereka sudah mampu memahami bentuk yang lengkap namun belum dapat
memahamai bentuk kompleks seperti kalimat pasif (Wood dalam Crown, 1992).
Menurut Emingran siswa kelas atas SD menggunakan struktur yang lebih kompleks
dalam menulis daripada dalam berbicara (Tompkins, 1989). Pada umumnya anak SD
mengenal bentuk pasif daripada preposisi “oleh” misalnya “Buku itu
dibeli oleh Ali.” Dengan demikian kalimat pasif yang tidak disertai kata oleh,
mereka menganggapnya bukan kalimat pasif, misalnya “Saya melempar mangga (kalimat
aktif) menjadi “Mangga saya lempar (kalimat pasif) bukan “Mangga dilempar
oleh saya.” (Salah). Anak biasanya menggunakan kalimat pasif yang subjeknya
dari kata ganti/tak dapat dibalik dan kalimat pasif yang subjeknya bukan kata ganti/dapat
dibalik secara seimbang. Namun, anak sering mengalami kesulitan dalam membuat
kalimat dan menafsirkan makna kalimat pasif yang dapat dibalik (subjeknya bukan
kata ganti). Menjelang umur 8 tahun mereka mulai lebih banyak menggunakan
kalimat pasif yang tidak dapat dibalik (subjeknya kata ganti). Pada umur 9
tahun, anak mulai banyak menggunakan bentuk pasif yang
subjeknya dari kata ganti. Dan pada umur 11-13 tahun mereka banyak menggunakan
kalimat yang subjeknya dari kata ganti. Penggunaan kata penghubung juga
meningkat pada usia SD. Anak di bawah umur 11 tahun sering menggunakan kata “dan”
pada awal kalimat. Pada umur
11-14 tahun, penggunaan “dan” pada awal kalimat mulai jarang muncul. Anak
sering mengalami kesulitan penggunaan kata penghubung “karena”: dalam
kalimat, seperti “Saya menghadiri pertemuan itu karena diundang”. Anak
SD bingung membedakan kata hubung karena, dan, lalu dilihat dari segi
urutan waktu kejadiannya. Yakni diundang dahulu baru pergi ke pertemuan. Oleh karena itu
kadangkala ada anak TK yang mengucapkan “Saya sakit karena saya tidak masuk
sekolah” padahal maksudnya “Saya tidak masuk sekolah karena sakit.”.
Pemahaman kata penghubung “karena“ baru mulai berkembang pada umur 7
tahun. Pemahaman yang benar dan konsisten baru terjadi pada umur skitar 10-11
tahun (Budiasih dan Zuchdi, 1997).
Perkembangan
Semantik
Selama priode usia
sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan makna kata. Secara horisontal,
anak semakin mampu memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan nuansa
makna yang agak berbeda secara tepat. Penambahan vertikal berupa penambahan
jumlah kata yang dapat dipahami dan digunakan dengan tepat (Owens dalam
Budiasih dan Zuchdi, 1997). Menurut Lindfors, perkembangan semantik berlangsung
dengan sangat pesat di SD. Kosa kata anak bertambah sekitar 3000 kata per tahun
(Tompkins,1989). Sedang Berger menyatakan bahwa antara 2-6 rata-rata anak mempelajari
6 -10 kata per hari. Ini berarti bahwa rata-rata anak umur 6 tahun mempunyai
kata 8.000 - 14.000 kata. Dan pada usia 9 - 10 thn. sekitar 5000 kata baru
dalam perbendaharaan kosa katanya (Woolfolk, 1990). Merujuk apa yang tercantum
dalam Kurikulum 1994, perbendaharaan kata siswa SD diharapkan lebih kurang 6000
kata. Dengan demikian pendapat Berger di atas sangat tinggi. Pendapat yang
relatif mendekati harapan Kurikulum 1994
adalah hasil temuan penelitian Slegers bahwa rata-rata anak masuk kelas awal
dengan pengetahuan makna sekitar 2500 kata dan meningkat rata-rata 1000 kata
pertahun di kelas awal dan menengah SD dan 2000 kata di kelas atas sehingga
perbendaharaan kosa kata siswa berjumlah 8500 di kelas VI (Harris dan Sipay,
1980). Kemampuan anak kelas rendah SD dalam mendefinisikan kata meningkat dengan
dua cara. Pertama, secara konseptual yakni dari definisi berdasar pengalaman
individu ke makna yang bersifat sosial atau makna yang dibentuk bersama. Kedua, anak
bergerak secara sintaksis dari definisi kata-kata lepas ke kalimat yang
menyatakan hubungan kompleks (Owens, 1992) Pengetahuan kosa kata mempunyai
hubungan dengan kemampuankebahasan secara umum. Anak yang menguasai ba nyak
kosa lebih mudah memahami wacana dengan baik. Selama priode usia SD, anak
menjadi semakin baik dalam menemukan makna kata berdasarkan konteksnya. Anak
usia 5 thn. mendefinisikan kata secara sempit sedang anak berumur 11 tahun
membentuk definisi dengan menggabungkan makna-makna yang telah diketahuinya. Dengan
demikian definisinya menjadi lebih luas, misalnya kucing ialah binatang yang
biasa dipelihara di rumah-rumah penduduk. Menurut Budiasih dan Zuchdi (1997),
anak usia SD sudah mampu mengembangkan bahasa figuratif yang memungkinkan penggunaan bahasa secara kreatif.
Bahasa figuratif menggunakan kata secara imajinatif, tidak secara literal atau
makna sebenarnya untuk menciptakan kesan emosional. Yang termasuk bahasa figuratif adalah
(a) ungkapan misalnya kepala dingin, (b) metafora, misalnya “Suaranya
membelah bumi”., (c) kiasan, misalnya “Wajahnya seperti bulan purnama.”,
(d) Pribahasa, misalnya “Menepuk air
di dulang, terpecik muka sendiri.”
Perkembangan
Pragmatik
Perkembangan pragmatik
atau penggunaan bahasa merupakan hal paling penting dibanding perkembangan
aspek bahasa lainnya pada usia SD. Hal ini pada usia prasekolah anak belum
dilatih menggunakan bahasa secara akurat, sistematis, dan menarik. Berbicara
tentang pragmatik ada 7 faktor penentu yang perlu dipahami anak (1) kepada
siapa berbicara (2) untuk tujuan apa, (3) dalam konteks apa, (4) dalam situasi
apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media apa, (7) dalam peristiwa apa
(Tarigan, 1990). Ke-7 faktor penentu komunikasi tersebut berkaitan erat dengan
fungsi (penggunaan) bahasa yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday: instrumental,
regulator, interaksional, personal, imajinatif, heuristik, dan informatif. Pinnel
(1975) dalam penelitiannya tentang penggunaan fungsi bahasa di SD kelas awal
menemukan bahwa umumnya anak menggunakan fungsi interaksional (untuk
bekomunikasi) dan jarang menggunakan fungsi heuristik (mengunakan bahasa untuk
mencari ilmu pengetahuan saat belajar dan berbicara dalam kelompok kecil). Dilihat dari
segi perkembangan kemampuan bercerita, anak umur 6 tahun sudah dapat bercerita secara
sederhana tentang acara televisi/film yang mereka lihat. Kemampuan ini
selanjutnya berkembang secara teratur dan sedikit-demi sedikit. Mereka belajar
menghubungkan kejadian tetapi bukan yang mengandung hubungan sebab akibat. Kata
penghubung yang digunakan: dan, lalu. Pada usia 7 tahun anak mulai dapat
membuat cerita yang ang agak padu. Mereka sudah mulai mengemukakan masalah,
rencana mengatasi masalah dan penyelesaian
masalah tersebut meskipun belum jelas siapa yang melakukannya. Pada umur 8 tahun anak menggunakan penanda awal dan
akhir cerita, misalnya “Akhirnya mereka hidup rukun”. Kemampuan membuat
alur cerita yang agak jelas baru mulai diperoleh oleh anak pada usia lebih dari
delapan tahun. Pada umur tersebut barulah mereka dapat mengemukakan pelaku yang mengatasi masalah dalam cerita.
Anak-anak mulai dapat menarik perhatian pendengar atau pembaca cerita yang
mereka buat. Struktur cerita mereka semakin menjadi jelas. Kaitannya dengan
gaya bercerita antara anak laki-laki dengan perempuan memiliki perbedaan. Anak
perempuan menganggap bahwa peranannya dalam percakapan adalah sebagai
fasilitator sehingga mereka menggunakan cara yang tidak langsung dalam meminta
persetujuan dan lebih banyak mendengarkan, misalnya “Ibu tidak marah, kan?”.
Sedangka anak laki-laki menganggap dirinya sebagai pemberi informasi sehingga
cenderung memberitahu. Anak laki-laki biasanya kurang berbicara dan lebih
banyak berbuat namun kadangkala bertindak keras dan percakapan digunakannya
untuk berjuang agar tidak dikuasai oleh anak lain atau kelompok lain. Sedangkan
nak perempuan cenderung banyak bicara dengan pasangan akrabnya, dan saling menceritakan
rahasianya, masalah pribadinya dikemukakan kepada teman dan temannya biasanya
menyetujui dan dapat memahami masalah tersebut (Owens, 1992).
lumayan nih bisa dapet makalah yang sudah jadi :D
BalasHapusuuum....blognya cute2, suka :)
iyaaa....makasih yaaaak :-)
BalasHapusterima kasih..ijin buat referensi tulisan
BalasHapus