BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar
Belakang.
Anak
yang sedang dalam perkembangan setingkat sekolah dasar, berada dalam periode
konkret atau periode dunia realita. Suatu hal penting yang sedang terjadi dalam
diri anak adalah dimilikinya dorongan ingin tahu tentang segala sesuatu yang
ada dalam dunia realita disekitarnya. Anak ingin tahu bagaimana cara mengadakan
hubungan dengan dunia realita yang ada dilingkungannya baik bersifat fisik maupun
sosial. Pada saat ini pun timbul kesadaran anak tentang adanya aturan-aturan
yang harus diikutinya.
Dengan
masuknya anak ke dalam tingkat perkembangan kanak-kanak akhir yang berlangsung
antara umur tujuh sampai dua belas tahun, aktivitas kehidupan anak kebanyakan
bukan lagi di dalam rumah bersama orang tua dan saudara-saudaranya tetapi di
luar rumah dengan teman sebaya dan bahkan dengan teman dewasa lainnya. Pada
saat ini pula anak memasuki sekolah. Oleh karena itu, hubungan sosial dengan
teman sebaya makin bertambah luas.
Maka
dari itu, penulis membahas tentang perkembangan aspek-aspek sosial peserta
didik.
1.2 Rumusan
Masalah
Permasalahan yang penulis bahas dalam Pembuatan makalah
ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimana perkembangan aspek-aspek sosial peserta didik?”
1.3
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai penulis adalah :
a.
Mengetahui Pengertian
Hubungan Sosial.
b.
Mengetahui
Pengaruh Hubungan Sosial dengan Tingkah Laku.
c.
Mengetahui
Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja.
d.
Mengetahui
Bentuk – Bentuk Tingkah laku Sosial.
e.
Mengetahui
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak.
f. Mengetahui Hubungan antara
Nilai, Moral, Sikap dengan Perilaku.
g. Mengetahui Karakteristik Nilai, Moral dan Sikap pada Remaja
h. Mengetahui Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap.
i.
Mengetahui Perbedaan
Individu dalam Nilai, Moral dan Sikap.
j.
Mengetahui
Upaya pengembangan Nilai, Moral dan Sikap pada Remaja serta Implikasinya dalam
penyelenggaraan Pendidikan.
1.4 Sistematika
Penulisan
BAB
I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian tentang Latar Belakang masalah yang
mendasari tentang penulisan makalah ini, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan serta Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
Bab ini berupa pembahasan tentang hubungan sosial dan perkembangan
aspek-aspek sosial peserta didik
BAB III PENUTUP
Berisi uraian tentang pokok-pokok kesimpulan dan saran-saran yang
perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan Aspek-apek Sosial Peserta Didik
Perkembangan Hubungan Sosial.
Manusia
disamping merupakan makhluk pribadi juga merupakan makhluk sosial. Sebagai
makhluk sosial, manusia mempunyai kepentingan dengan manusia lain, ingin
berhubungan dengan orang lain, saling berbagi rasa dan pengalaman dengan orang
lain sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, manusia tidak bisa lepas dari
lingkungan sosialnya atau manusia-manusia yang ada disekitarnya.
2.1 Pengertian
Hubungan Sosial.
Syamsu
Yusuf (2007) menyatakan bahwa Perkembangan sosial merupakan pencapaian
kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan
sebagao proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok,
moral dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling
berkomunikasi dan kerja sama.
Pada
awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam artian belum memiliki
kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh
dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang
dilingkungannya.
Kebutuhan
berinteraksi dengan orang lain telah dirsakan sejak usia enam bulan, disaat itu
mereka telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya.
Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah
(tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang.
Hubungan
sosial diartikan sebagai bagaimana orang / individu bereaksi terhadap
orang-orang di sekitarnya, dan bagaiman pengaruh hubungan itu pada diri
individu (Alisjahbana, dkk 1984:24). Sebagai makhluk sosial, manusia selalu
terlibat dalam situasi sosial, dimana dapat hubungan antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain yang dapat saling mempengaruhi (Walgito,1978)
Menurut
simanjutak, dkk (1984: 98) “paling tidak ada 3 tempat penting dalam
perkembangan hubungan sosial individu dimulai dari rumah, teman sebaya dan
sekolah.”
Sedangkan
menurut Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa :
Hubungan
sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan.
Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh
kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia
menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang
amat kompleks.
Dari
kutipan diatas dapatlah dimengerti bahwa semakin bertambah usia anak maka
semakin kompleks perkembangan sosialnya, dalam arti mereka semakin membutuhkan
orang lain. Tidak dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
tidak akan mampu hidup sendiri, mereka butuh interaksi dengan manusia lainnya,
interaksi sosial merupakan kebutuhan kodrati yang dimiliki oleh manusia.
2.2 Pengaruh
Hubungan Sosial dengan Tingkah Laku.
Hubungan
sosial individu dimulai sejak individu berada di lingkungan rumah bersama
keluarganya, segera setelah lahir hubugan bayi dengan orang di sekitarnya
terutama ibu pada saat menyusui memiliki arti yang sangat penting. (Boweby :
1987) Perkembangan sosial anak semakin berkembang ketika anak mulai memasuki
masa prasekolah, kira- kira usia 18 bulan. Pada usia ini dimulai dengan
tumbuhnya kesadaran diri atau yang dikenal dengan kesadaran akan dirinya dan
kepemilikannya. Pada masa ini sampai akhir masa sekolah anak mulai mendekatkan
diri pada orang-orang lain di sekitarnya. Sehingga lingkungan terutama teman
sebaya mempunyai pengaruh yang sangat besar. Dalam konteks ini, Jean Piaget
(Monks, dkk. : 1991) mengatakan bahwa permulaan kerjasama dan konfrontmisme
sosial semakin bertambah pada saat anak mencapai usia 7-10 tahun dan mencapai
puncak antara usia 9-15 tahun, setelah itu mengalami penurunan kembali yang di
sebabkan pada masa remaja sudah semakin berkembang keinginan mencari dan
menemukan jati dirinya sehingga konfrontmisme semakin berbenturan dengan upaya
mencapai kemandirian atau individuasi.
Dalam
perkembangan sosial anak, mereka dapat memikirkan dirinya dan orang lain.
Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah kepenilaian
diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Hasil pemikiran dirinya
tidak akan diketahui oleh orang lain, bahkan sering ada yang menyembunyikannya
atau merahasiakannya.
Pikiran
anak sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap
kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemampuan
abstraksi anak sering menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan
peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semstinya menurut alam
pikirannya.
Disamping itu
pengaruh egoisentris sering terlihat, diantaranya berupa :
-
Cita-cita
dan idealism yangbaik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa
memikirkan akibat labih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang
mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
-
Kemampuan
berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain daalm
penilaiannya.
Melalui banyak
pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang
lain, maka sikap ego semakin berkurang dan diakhir masa remaja sudah sangat
kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.
2.3 Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
Dalam perkembangan sosial remaja terlihat adanya dua macam gerakan,
yaitu gerakan mulai memisahkan diri dari orang tua, dan menuju ke arah teman
sebaya. Dua macam gerakan ini bukan merupakan dua hal yang berurutan meskipun
yang satu dapat terkait dengan yang kedua. Gerakan pertama tanpa diikui garakan
kedua dapat menyebabkan rasa kesepian, dan dalam kondisi yang ekstrim kesepian
ini dapat menyebabkan usaha-usaha bunuh diri (Ausabel dalam Monks, dkk.,1996).
Dalam masa remaja dapat ditemukan adanya kesadaran akan kesunyian dan dorongan
akan pergaulan. Kesadaran akan kesunyian ini menyebabkan remaja berusaha
berhubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan.
Gerakan mulai memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah
teman sebaya merupakan suatu reaksi terhadap status intern individu.
Sebagaimana diketahui setelah memasuki pubertas, terjadi suatu diskrepansi yang
besar antara kedewasaan/kemasakan secara fisik dengan ikatan sosial pada orang
tua. Dalam keadaan sedah dewasa secara fisik dan seksual, namun remaja dalam
beberapa hal masih belum mandiri dan tergantung pada keluarga, mereka masih
tinggal bersama dengan orang tua, mereka secara ekonomi masih tergantung pada orang
tua, dan kadang-kadang hal ini berlangsung lama.
Dalam masa remaja ini, ramaja berusaha untuk melepaskan diri dari
milik orang tua dengan tujuan untuk menemukan dirinya. Prose ini oleh Erickson
(dalam Monks, dkk., 1996 : 272) disebut proses mencari identitas ego.
Pembentukan identitas ini merupakan aspek penting dalam rangka perkembangan
kearah individualitas yang mantap, berkembang menjadi individu yang mandiri.
Tidak hanya tenggelam dalam peran-peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak,
teman, pelajar, tetapi dalam hal-hal tersebut tetap menghayati sebagai pribadi,
menjadi diri sendiri. Hal ini merupakan pengalaman yang perlu dialami remaja
dalam rangka menuju perkembangan yang sehat.
Berkaitan dengan hal ini, Debesse (dalam Monks, dkk., 1996 : 273)
tidak sependapat dengan istilah identitas. Dia berpendapat bahwa remaja
sebetulnya ingin menonjolkan apa yang membedakan dengan dirinya dengan orang
dewasa, yaitu originalitas nya bukan identitasnya,dan oleh karenanya istilah
krisis originalitas lebih tepat dari pada krisis identitas. Usaha remaja untuk
menunjukan originalitasnya, ditunjukan dengan pertentangan antara orang dewasa
dan solidaritas terhadap teman sebaya. Hal-hal yang menjadi pertentangan antara
remaja dengan orang dewasa (terutama orang tua) biasanya seputar masalah pulang
terlambat, sikap kurang hormat, kurang sopan, lebih bebas dalam soal seks,
moral ke-Tuhanan. Pengertian originalitas disini bukan diartikan originalitas
remaja secara individual, namun merupakan sifat khas sekelompok anak-anak muda
(sebagai keseluruhan). Mereka cenderung untuk memberikan kesan lain dari pada
yang lain, untuk menciptakan suatu gaya sendiri, subkultur sendiri.
Remaja biasanya lebih progresif dari pada orang tuanya. Anak-anak
muda menunjukan originalitasnya bersama-sama dalam hal berpakaian, berdandan,
gaya rambut, gaya tingkah laku, kesenangan musik, tingkah laku konsumen,
pertemuan, pesta-pesta. Untuk hal ini mereka memanifestasikan dirinya sebagai
kelompok anak muda yang punya gaya sendiri.
Hal lain yang menonjolkandari semua perubahan yang terjadi dalam
sikap dan perilaku sosial terjadi dibidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu
yang relatif singkat remaja mengalami perubahan yang berarti, yaitu dari tidak
menyukai lawan jenis atau bergabung dengan kelompok dari jenis kelamin yang
sama sebagaimana ketika masa anak-anak menjadi menyukai lawan jenis sebagai
teman daripada teman sejenis (hurlock, E.B., 1996 : 214).
2.4 Bentuk –
Bentuk Tingkah laku Sosial
Dalam
perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk
interkasi sosial diantarannya :
a.
Pembangkangan (Negativisme)
Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai
reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang
tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18
bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun dan mulai menurun pada usia
empat hingga enam tahun.
Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang pertanda
mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya,
sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap
dependent menuju kearah independent.
b.
Agresi (Agression)
Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun
kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi
( rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya
bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti ; mencubut, menggigit, menendang
dan lain sebagainya.
Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak
dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum
anak yang agresif maka egretifitas anak akan semakin memingkat.
c.
Berselisih
(Bertengkar)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh
sikap atau perilaku anak lain.
d.
Menggoda (Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda
merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata
ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.
e.
Persaingan
(Rivaly)
Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh
orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan
prestice dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik.
f.
Kerja
sama (Cooperation)
Yaitu sikap mau bekerja sama dengan orang lain. Sikap ini mulai
nampak pada usia tiga tahun atau awal empat tahun, pada usia enam hingga tujuh
tahun sikap ini semakin berkembang dengan baik.
g.
Tingkah
laku berkuasa (Ascendant behavior)
Yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau
bersikap bossiness. Wujud dari sikap ini adalah ; memaksa, meminta, menyuruh,
mengancam dan sebagainya.
h.
Mementingkan
diri sendiri (selffishness)
Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya
i.
Simpati
(Sympaty)
Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh
perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya.
2.5 Faktor –
faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak
Perkembangan sosial anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu :
-
Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh
terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya.
Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif
bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan
kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan, etika
berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh keluarga.
-
Kematangan
Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik
dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima
nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, disamping
itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.
-
Status
Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi
keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi
normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
-
Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat
pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan
warna kehidupan sosial anak didalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang
akan datang.
-
Kapasitas
Mental : Emosi dan Intelegensi
Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti
kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi
perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan
intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika
perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan
perkembangan sosial anak.
2.6 Hubungan
antara Nilai, Moral, Sikap dengan Perilaku
Perilaku
manusia merupakan suatu hal yang kompleks karena dipengaruhi oleh banyak
faktor. Sikap merupakan penentu penting dalam tingkah laku. Sikap yang ada pada
seseorang akan memberikan gambaran corak tingkah laku seseorang. Dengan
mengetahui sikap seseorang, orang akan dapat menduga bagaimana respon atau
tindakan yang akan diambil oleh orang tersebut terhadap suatu masalah atau
keadaan yang dihadapinya. Walaupun reaksi atau perilaku individu tidak
selamanya konsisten selamanya konsisten dengan sikapnya, karena sangat
tergantung kondisi serta situasi dimana dan pada waktu apa individu tersebut
tersebut berada pada saat mengekspresikan sikapnya. Apabila individu berada
pada suatu situasi yang bebas dari tekanan atau hambatan yang mengganggu
ekspresi sikapnya, maka diharapkan bahwa bentuk-bentuk perilakunya akan
merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya. Sebaliknya bila individu mengalami
atau merasakan ada hambatan, conflict of interest, maka apa yang dilakukan
individu mungkin tidak sejalan dengan sikap yang ditampakkan, mungkin
bertentangan dengan hati nuraninya dan bahkan bertentangan dengan apa yang
dipegangnya sebagai kepercayaan.
Sikap dapat
dipandang sebagai suatu manifestasi dari nilai-nilai yang dianut individu,
karena sikap merupakan organisasi dari keyakinan-keyakinan mengenai suatu objek
yang berlangsung relatif lama. Nilai memberikan dasar pertimbangan bagi
individu dalam berperilaku, kerena nilai merupakan kriteria yang ada didalam
individu yang dapat dipakai untuk mengevaluasi/menilai sistem kebutuhannya.
Nilai mempunyai
dua fungsi yaitu, pertama berfungi motivasional, yaitu komponen yang mendorong
seseorang untuk mencapai apa yang bernilai bagi seseorang, kedua sebagai
standar yang memberi arah dalam perilaku seseorang, karena sistem nilai yang dianut
membantu individu untuk mengevaluasi, menilai, memuji atau mengutuk diri
sendiri atau orang lain (Rokeach dalam Dirjen Dikti, 1983). Sebai suatu standar
atau norma maka nilai disini bertindak sebagai moral.
2.7 Karakteristik Nilai, Moral dan Sikap pada
Remaja
Sebelum
individu memasuki remeja, biasanya kehidupan teratur dan mengikuti tatacara,
aturan tertentu. Ketika memasuki masa remaja, individu tidak lagi begitu saja
menerima aturan atau kode moral dari orang atau guru, bahkan teman sebaya.
Sebagian mengalami tantangan moral dari generasi yang lebih tua ataupun teman
sebaya (Gunarsa, 1978:109).
Masa remaja
adalah periode penting dalam pembentukan nilai (Adi, 1986:214; Hurlocks,
1976:278). Kemampuan kognitif remaja yang makin meningkat menambah kesadaran
mereka akan nilai dan moral. Pencapaian
tingkat perkembangan baik fisik maupun psikologis tersebut membuat
banyak remaja mengalami perubahan dalam sikap dan perilakunya.
Pada masa
remaja ini biasanya terdapat perubahan sikap yang cukup mencolok dan ditempatkan
sebagai salah satu karakteristik remaja yaitu sikap menentang nilai-nilai dasar
hidup orang tua dan orang dewasa lainnya (Gunarsa, 1986:219;1988:94). Hal ini
disebabkan karena remaja ingin membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep
benar dan salah yang telah diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka
sendiri.
Selanjutnya
remaja membentuk kode sendiri berdasarkan konsep benar dan salah yang telah
diubah dan diperbaiki agar sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang
dan diperbaiki agar sesuai dengan hukum-hukum dan peraturan yang dipelajari
dari orang tua dan guru atau sumber lainnya. Beberapa remaja bahkan melengkapi
kode moral mereka dengan pengetahuan yang diperoleh dari pelajaran agama
(Hurlock.E.B.1996:226).
Berkaitan
dengan hal ini sikap baik dalam moral dan tuntutan keagamaan hanya mungkin
terjadi jika aspek-aspek kognitif (pikiran, ingatan, fantasi, kesan), konatif
(dorongan, keinginan, kemauan), serta afektif (perasaan harga diri, perasaan
sosial, perasaan ke-Tuhanan, ketakutan dan kecemasan) senantiasa diwarnai oleh
pengetahuan agama yang meyakinkan.
2.8
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Perkembangan
nilai, moral, dan sikap individu sejalan dengan perkembangan usianya yang
diperoleh melalui interaksi dengan lingkungannya. Individu yang berinteraksi dengan lingkungannya akan
mendapatkan pembelajaran berbagai macam aspek kehidupan termasuk didalamnya
aspek nilai, moral, dan sikap. Dalam kaitan inilah maka lingkungan merupakan
faktor penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai, moral, dan
sikap-sikap individu (Gunarsa, 1988:37;Harrocks, 1976:278).
Faktor-faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan nilai, moral, dan sikap mencakup aspek religi, psikologis, sosial,
budaya, serta fisik kebendaan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun
masyarakat beragama.
Individu yang
tumbuh dan berkembang pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang
baik cenderung menjadi individu yang cenderung memiliki nilai-nilai luhur,
moralitas tinggi, serta sikap terpuji. Sebaliknya, individu yang tumbuh dan
berkembang pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang jelek
cenderung tidak memiliki nilai-nilai luhur, moralitas yang rendah, serta sikap
dan perilaku yang tidak terpuji.
2.9 Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral dan
Sikap
Perbedaan ini dipengaruhi oleh struktur budaya dan kelompok
sosialnya sehingga berbeda setiap kelompoknya. Hal – hal yang berkaitan dengan
nilai universal kemanusiaan memiliki pandangan yang sama tiap kelompoknya.
Setiap individu memiliki nilai fase, tempo dan irama perkembangan senidri
sendiri dan lingkungan budaya dan agama yang heterogen.
Menurut Kohlberg, setiap individu dapat mencapai sebanyak –
banyaknya enam tingkat perkembangan. Namun waktu mendapatkannya tidak dapat
diketahui secara pasti. Sehinnga dapat dimungkinkan individu yang lahir
relative bersamaan tapi berbeda dalam tingkat pemikiran moralnya.
2.10 Upaya
pengembangan Nilai, Moral dan Sikap pada Remaja serta Implikasinya dalam
penyelenggaraan Pendidikan.
Upaya ini perlu dilakukan oleh segala pihak yakni keluarha, sekolah
dan masyarakat yang akan sangat membantu pengembangan hubungan social para
remaja. Keluarga adalah pihak yang utama dan pertama dalam melakukan tugas ini,
kemudian berlanjut pada sekolah dan masyarakat.
Upaya pengembangan Nilai, Moral dan Sikap dapat dilakukan dengan
cara berikut :
a.
Modelling
Diperlukan
contoh nyata untuk ditiru dan diidentifikasi oleh remaja sebagai dasar
pemebentukan niali moral dan sikapnya. Dalam keluarga, Orang tua harus menjadi
contoh yang baik karena akan ditiru oleh anaknya. Orang tua harus berhati hati
dalam bertindak dan bertutur kata agar tak menjadi contoh negative.
Di sekolah,
guru adalah model nyatta yang menjadii panutan siswanya. Sehingga guru juga
harus mengembangkan ketrampilan aser;tif dan menyimaknya.
b.
Fasilitasi
Nilai
Merupakkan
pemberian kesempatan kepada individu dalam hal fasilitasi berpikir, membuat
keptusan secara mandiri bertindak sesuai system nilai universal yang diyakini.
Dalam hal ini perlu dikembangakan sikap musyawarah, saling mennghormati,
menghargai serta mendengar pendapat anak. Orang tua hendakanya memberi
kebebasan bertanggung jawab terhadap anaknya.
c.
Pengembangan
Dilaksanakan
agar siswa dapat mengamalkan nilai yang dianut sehinggan berperilaku
konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan yang dimaksud adalh
berpikir kreatif dan kritis, berkomunikasi secara jelas, menyimak serta
bertindak asertif dan menemukan solusi konflik.
d.
Inkulkasi
Ciri – cirinya
:
-
Mengkomunikasikan
kepercayaan serta dengan alasan yana melandasinya.
-
Memperlakukan
orang xecara adil
-
Menghargai
pendapat orang lain
-
Mengungkapakan
ketidakpercayaan dan keraguan dengan alasan dan bersikap santun.
-
Tidak
sepenuhnya mengontrol lingkungan
-
Menciptakan
pengalaman social dan emosional
-
Membuat
aturan, memberikan penghargaan dan kosekuensi dengan alasan jelas
-
Tetap
membuak komunikasi dengan pihak yang tak setuju
-
Kebebasan
terhadap perbedaan dan memeberikan adannya perilaku, kalau memungkinkan memberikan
arahan agar bberubah.
Agar tak bersikap indoktrinasi, guru hendaknya sebagai pemimpin
buakn yang memaksa.Secara khusus upaya ini telah diprogamkan lewat mapel PKn,
PAI . Etika, budi pekerti dan lain sebagainya. Sedangkan dimasyarakat dengan
organisasi politik , masyarakatm, agama dan lain – lain. Oleh karena itu perlu
wadah seperti karang taruna untuk kesuksesan upaya ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hubungan sosial
diartikan sebagai bagaimana orang / individu bereaksi terhadap orang-orang di
sekitarnya, dan bagaiman pengaruh hubungan itu pada diri individu (Alisjahbana,
dkk 1984:24).
Dalam
perkembangan sosial remaja terlihat adanya dua macam gerakan, yaitu gerakan
mulai memisahkan diri dari orang tua, dan menuju ke arah teman sebaya. Dalam
masa remaja dapat ditemukan adanya kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan
pergaulan.
Bentuk – Bentuk
Tingkah laku Sosial yaitu Pembangkangan, Agresi, Berselisih, Menggoda, Persaingan,
Kerjasama, Tingkah laku berkuasa, Memetingkan diri sendiri dan simpati.
Faktor
– faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak keluarga, kematangan,
status sosial ekonomi, pendididkan, emosi dan intelegensi.
Upaya
pengembangan Nilai, Moral dan Sikap dapat dilakukan dengan cara Modelling, fasilitas
nilai , pengembangan, dan inkulkasi.
3.2
Saran
-
Hendaknya
guru selalu memantau perkembangan sosial peserta didiknya sehingga tidak
terjerumus ke hal-hal negatif.
-
Orang
tua juga perlu mengawasi lingkungan sosial anak nya.
-
Sebaiknya
anak di terjunkan ke lingkungan sosial yang bersifat positif, sehingga tidak
terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Terimakasih ..
BalasHapussangat mambantu .. :)
iya sama-sama :-)
BalasHapus